Welcome

Terima Kasih Kunjungannya...

Kamis, 03 Desember 2009

ISU GENDER DALAM POLITIK

MASALAH :
Bagaimana Keseteraan Gender bagi Perempuan Indonesia di dalam dunia perpolitikan, baik Eksekutif maupun Legislatif ?

ANALISIS :
Politik adalah unsur yang penting dalam pemerintahan suatu Negara. Politik merupakan sebuah aspek utama yang memegang pengaruh terhadap bidang – bidang lainnya. Baik itu pendidikan, ekonomi, keamanaan, kini semua ditentukan oleh politik. Negara yang maju adalah Negara yang berhasil dalam politiknya. Melalui politik inilah nantinya jalan menuju kesejahteraan dan keberhasilan suatu Negara ditentukan, tinggal bagaimana suatu negara itu menentukan cara politik dalam negaranya.

Seperti diketahui, Sistem Pemilu di Indonesia sejak refomasi adalah Pemilu Langsung, dimana rakyat memilih secara langsung Calon Anggota Legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Baik itu Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden yang diadakan 5 tahun sekali adalah langkah awal bagi pemerintahan Indonesia. Oleh karana itu harapan untuk pemilihan sosok orang yang tepat sangatlah dituntut karena menentukan masa depan Indonesia 5 tahun ke depan, baik itu dalam hal integritas, kapabilitas, loyalitas, dan lainnya.

Bagaimana dengan Perempuan? Inilah yang menjadi isu gender dalam politik di Indonesia. Dapat kita lihat bahwasanya kesetaraan gender belum seutuhnya terwujud dalam hal keberadaan perempuan baik itu dalam legislative (DPR & DPRD), maupun eksekutif (kementrian/cabinet presiden).

Walaupun jatah untuk perempuan sudah dialokasikan untuk menempati kursi legislative, nyatanya hal ini belum bisa dimaksimalkan oleh perempuan – perempuan Indonesia. Seperti diketahui dalam UU No. 10 tahun 2008, dalam hal pemilu legislatif, partai harus menyertakan perempuan sebanyak 30 % dalam daftar calon anggota legislatif mereka dari partai masing – masing. Bagi kebanyakan perempuan, hal ini dirasa sudah cukup. Padahal mereka lupa dan terlena bahwa kesetaraan gender tidak cukup hanya dengan 30%.

Memang untuk berbaur dalam Dunia Politik bagi perempuan tidaklah seperti mudahnya membalikan telapak tangan. Perempuan mempunyai kewajiban tersendiri dan tidak hanya melulu mengurus urusan politik, mengurus keluarga misalnya adalah merupakan tugas terpenting perempuan. Oleh karena itu caleg perempuan tidak akan dapat berkonsentrasi penuh seperti caleg laki – laki untuk memenangkan pemilu melalui kampanye – kampanye, sosialisasi, dan sebagainya.

Dalam perjalanannya, perempuan kembali dihadapkan kepada polemik baru. Dimana dalam pemilu 2009 tidak lagi menggunakan sistem nomor urut yang digunakan untuk menentukan keterpilihan seorang caleg. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi, Sistem suara terbanyak yang dikenal dengan nama tarung bebas digunakan dalam menentukan calon anggota legislative. Mengahadapi hal ini, perempuan kembali menghadapi masalah gender. Mereka merasa hal ini jutru akan semakin mematikan langkah perempuan untuk berperan dalam politik Indonesia.

Bukan tanpa alasan mereka berpikiran seperi itu. Mind set atau cara berpikir orang – orang Indonesia kebanyakan lebih mendahulukan laki – laki daripada perempuan. Sehingga secara otomatis orang – orang akan lebih banyak memilih Caleg Pria ketimbang Caleg Wanita. Inilah sebenarnya paradigma yang harus diubah oleh orang – orang Indonesia, bahwa tak selamanya anggapan bahwa Laki – laki itu selalu lebih baik dari perempuan adalah benar. Sebagai Contoh adalah Menkeu kita Sri Mulyani yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diakui oleh Internasional dsb.

Mengingat electabilitas perempuan yang kecil, tak salah bila perempuan khawatir tidak akan dapat tempat, baik dalam struktur pemerintahan dan legislatif. Contoh yang paling nyata adalah sudah dirasakan oleh Partai PDI Perjuangan. Dimana dalam Pemilihan Presiden, Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sebagai pihak “mewakili” Perempuan Indonesia sudah 2 kali merasakan kekalahan dari pria, yaitu dari Gus Dur (1999) dan SBY (2004). Padahal kala itu, partai yang memenangkan pemilu tahun 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang meraup sekitar 30% suara nasional dengan 165 kursi di DPR, yang secara matematis seharusnya Megawati dapat dengan mudah melenggang menjadi Presiden. Namun nyatanya ia tetap kalah dalam Pilpres malawan Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa yang hanya mendapat 50 kursi DPR.

Hal ini cukup dilemma, lucu, dan cenderung konyol bagi perempuan. Mengapa? Sejak jaman dahulu, Perempun terus mengangkat tema mengenai persamaan gender hingga sekarang. Namun setelah terdapat seorang ”RA. Kartini” di zaman modern (Bu Mega-red), yang maju untuk mengubah nasib perempuan, perempuan sendiri malah berpaling dan tak mendukungnya. Cukup tragis memang, seorang perempuan tidak memilih perempuan lainnya. Padahal perempuan harusnya sadar, bahwa yang dapat merubah nasib mereka hanyalah perempuan sendiri, bukan laki – laki. Bukan bermaksud untuk menyombongkan Mantan Presiden kita itu,mungkin saja hanya ia Perempuan satu – satunya di Indonesia yang dapat meraih jabatan Presiden Indonesia walau hanya sebentar (2 tahun). Sekarang pertanyaannya adalah, “apa yang harus dilakukan oleh Perempuan apabila sudah tidak ada lagi Perempuan yang berani mencalonkan diri sebagai Capres?” atau yang lebih ekstrim, “siapa lagi yang dapat perempuan andalkan setelah Megawati tidak lagi mencalonkan diri sebagai Presiden?” Kalaupun dilihat, hingga saat ini hanya Puan Maharani (Putri Megawati), yang gencar maju dalam pemerintahan. Itu pun belum maksimal. Selama Perempuan selalu bersikap pragmatis dan tidak mau bekerja sama bersama perempuan lainnya dalam mamperjuangkan kesetaraan bagi mereka sendiri, mungkin semua itu hanya akan menjadi mimpi dan angan – angan belaka.

Kita tak bisa pungkiri memang ada pendeskriminasian perempuan dalam politik di Indonesia. Sekarang hal yang bisa dilakukan oleh perempuan adalah menunjukkan kemampuan maksimal mereka agar para pemilih memberikan suara mereka untuk Caleg Perempuan. Perempuan tidak hanya bisa menunggu dan mengharapkan keajaiban agar Pemilih memberikan suaranya. Caleg perempuan harus bersikap lebih aktif dan aktraktif untuk menggalang dukungan dan keterpilihan mereka dalam pemilu.

KESIMPULAN:
Perempuan terjebak dalam Paradigma kuno, yang menganggap laki – laki lebih baik dari perempuan dalam segala hal, apalagi hal politik. Sehingga Perempuan terkesan “malas” untuk berubah, dan cenderung mengikuti arus yang sudah terbentuk. Padahal yang dapat merubah nasib perempuan adalah perempuan itu sendiri bukan laki – laki. Dan Politik sebenarnya adalah langkah yang paling riil yang harus diikuti oleh perempuan bila ingin mengubah nasibnya, dikarenakan politik mencakup segala aspek kehidupan modern.

SARAN :
Hal yang harus dilakukan perempuan adalah =
1. Jangan Hanya menunggu munculnya seorang ”juru selamat”, seperti RA. Kartini dan Megawati. Perempuan harus aktif mulai berubah dari diri sendiri. Bila hanya menunggu, mungkin hanya akan muncul sosok perempuan pembawa perubahan selama 100 tahun sekali. Semetara bila perempuan bergerak aktif, tentunya tidak akan menunggu selama itu.

2. Perempuan sudah selayaknya mendukung Perempuan. Sebab, hanya perempuan sendirilah yang dapat mengubah nasib perempuan lainnya, dikarenakan sepaham dan serasa. Jangan lupa kriteria dalam hal kapabilitas dan kapasitas juga diperhitungkan.

3. Perempuan harus membuktikan bahwa ideologi Laki – laki lebih baik dari perempuan adalah salah besar. Caranya? tentu saja perempuan harus berprestasi seperti laki – laki tanpa membuang sifat kewanitaannya..

STUDI KELEMBAGAAN NEGARA

1. DASAR TEORI PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN NEGARA
Konsep dasar pembentukan kelembagaan Negara dikenal dengan 2 konsep, yaitu :
1. Teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power)
2. Teori pembagian kekuasaan (Division of Power)

 Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)

Teori Pemisahaan Kekuasaan diperkenalkan olej John Locke (1632 – 1704) dan Montesqueie (1689 – 1755). Menurut John Locke, kekuasaan Negara di bagi 3 bentuk yaitu : Legislatif, Eksekutif, dan Federatif, dimana masing – masing kekuasaan ini terpisah antara satu dan yang lain.
• Legislatif adalah kekuasaan membuat peraturan dan perundangan
• Eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang – undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili (dalam hal in John Locke memandang mengadili sebagai “ultvoering” yaitu dipandang sebagai termasuk pelaksanaan undang – undang).
• Federatif adalah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan Negara dalam hubungannya dengan Negara lain (seperti hubungan luar negeri)

Adapun konsep dari John Locke disempurnakan oleh Montesqueie dalam bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois. Dimana Montesqueie menjabarkan kekuasaan menjadi 3 yaitu : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
• Legislatif adalah kekuasaan membuat undang – undang
• Eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang – undang (diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri)
• Yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang – undang.
Menurut pendapat dari Montesqueie, semua kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain baik mengenai fungsi, ataupun mengenai alat kelengkapan yang menyelenggarakannya. Terutama Montesqueie memisahkan kewenangan mengadili adalah bukan kewenangan dari eksekutif. Montesqueie memandang bahwa kekuasaan pengadilan adalah kekuasaan yang berdiri sendiri. Montesqueie berpendapat bahwa kemerdekaan akan dapat dijamin apabila ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu badan, melainkan tiga badan yang terpisah. Inilah yang menjadi dasar pemikiran Montesqueie sebagai Separation of Power.

 Teori Pembagian Kekuasaan (Division of Power)

Teori pembagian kekuasaan merupakan kelanjutan dari teori pemisahaan kekuasaan. Pada dasarnya teori pemisahaan kekuasaan dianggap sebagai yang paling mencerminkan Trias Politica. Namun demikian, walaupun ketiga fungsi tersebut telah dipisahkan, masih dirasakan perlu untuk menjamin bahwa masing kekuasaan tidak melampaui batas – batas dari kekuasaannya. Oleh karena itu, untuk mencegah hal seperti itu, maka diadakan suatu system yang bernama “check and balances”.

Adapun tujuan dari check and balances adalah agar dapat dilakukannya pengawasan dan untuk mengimbangi fungsi kekuasaan lainnya. Sistem ini mengakibatkan fungsi kekuasaan yang satu dengan yang lainnya dapat turut campur dalam batasan tertentu terhadap fungsi kekuasaan yang lain. Hal ini bukan dimaksudkan untuk memperbesar efisien kerja, melainkan untuk membatasi kekuasaan dari setiap fungsi agar lebih efektif.

Dikarenakan hal tersebut, maka mulai dikenal lah teori pembagian kekuasaan yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoknya saja yang dibedakan menurut sifatnya, serta diserahkan kepada badan yang berbeda, tetapi untuk selebihnya kerja sama di antara fungsi – fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi. Teori pembagian kekuasaan secara garis besar dianggap sebagai usaha untuk membendung kecenderungan lembaga – lembaga kenegaraan untuk melampaui batas kewenangan, yang memungkinkan terjadinya tindakan yang sewenang- wenang.


2. HUBUNGAN WEWENANG ANTAR LEMBAGA NEGARA
Sebagai akibat dari digunakannya asas pembagian kekuasaan, makan antara fungsi yang satu dengan fungsi yang lain akan saling berhubungan dan tidak terpisah. Hubungan wewenang antar lembaga negara adalah bentuk hubungan kerjasama antar institusi – institusi / organ – organ yang dibentuk dengan tujuan untuk melaksanakan fungsi – fungsi negara, baik itu legislative, eksekutif, maupun yudikatif.

Lembaga negara wajib membentuk suatu kesatuan proses antara yang satu dengan yang lain dan saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga – lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda – beda, secara konseptual lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan berkorelasi agar membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.

Hubungan antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislative, dan kekuasaan yudikatif merupakan perwujudan sistem checks and balances. Seperti diawal Sistem checks and balances dimaksudkan untuk mengimbangi pembagian kekuasaan yang dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antar lembaga. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan suatu kekuasaan pasti selalu ada peran dari lembaga lain.



3. FUNGSI DARI LEMBAGA NEGARA
Diawal telah dijelaskan bahwa terdapat 3 bentuk fungsi lembaga Negara, yaitu legislative, eksekutif, yudikatif dengan masing – masing kewenangannya.
 Fungsi Legislatif
Legislatif secara etimologis berasal dari kata legislate yang berarti membuat undang – undang. Lagislatif biasa disebut sebagai parlemen atau dewan perwakilan rakyat.
Di Indonesia sendiri kewenangan legislative (Dewan Perwakilan Rakyat) tercantum dalam pasal 20A UUD 1945. Namun pada intinya, terdapat 3 fungsi yang menjadi kewenangan badan legislative yaitu :
1. Fungsi Legislasi, adalah tugas utama dari badan legislative yaitu untuk membuat peraturan perundangan untuk menentukan arah kebijakannya.
Menurut Prof. Philipus M Hadjon, DPR Indonesia melakukan fungsi “medewetgeving” yang berarti ikut serta membuat undang – undang. Hal ini dikarenakan UU Indonesia adalah produk bersama dengan Presiden.
2. Fungsi Anggaran (Budgeting/Begrooting), legislatif mempunyai kewenangan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara
3. Fungsi Pengawasan (Monitoring), legislatif mempunyai fungsi untuk mengawasi dan mengontrol aktifitas badan eksekutif. Hal ini ditujukan agar eksekutif melakukan sesuai dengan kebijakan apa yang telah ditetapkan oleh legislatif. Pengawasan dilakukan melalui sidang – sidang panitia legislatif dan melalui hak – hak control khusus yang dimiliki oleh legislatif, seperti hak bertanya, interplasi, hak angket, mosi dan sebagainya.
Tiga bentuk pengawasan yang dilakukan oleh legislatif terhadap eksekutif, adalah control of executive, control of expenditure, dan control of taxation.
Selain ketiga fungsi legislatif diatas, terdapat fungsi lain seperti mensahkan (ratify) perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif.



 Fungsi Eksekutif

Menurut trias politca, fungsi dari eksekutif adalah melaksanakan kebijakan – kebijakan yang telah ditetapkan oleh legislatif. Namun seiring dengan perkembangan zaman, eksekutif memiliki fungsi lain yang tak hanya melaksanakan undang – undang saja. Adapun fungsi dari eksekutif adalah :
1. Diplomatik : menyelanggarakan hubungan diplomatic dengan Negara lain
2. Administratif : melaksanakan undang – undang serta peraturan – peraturan lain dan menyelenggarakan administrative Negara
3. Militer : mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang sserta keamanan dan pertahanan negara.
4. Yudikatif : memberikan grasi, amensti, abolisi, dan sebagainya
5. Legislatif : merencanakan undang – undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang – undang.



 Fungsi Yudikatif

Yudikatif merupakan lembaga negara yang berwenang untuk mengadili setiap pelanggaran perundang – undangan yang ada. Adapun setiap negara memiliki konsep yudikatif yang berbeda. Apabila kita berbicara yudikatif, maka harus dimulai dengan memisahkan dengan system hukum yang ada, yaitu system Anglo Saxon dan Eropa Continental.
Dalam system hukum Anglo Saxon, disamping undang – undang yang dibuat oleh parlemen, juga terdapat hukum sebagai common law atau hukum kebiasaan yang dirumuskan oleh hakim. Dengan kata lain hakim juga dapat membuat hukum dengan keputusannya yang lebih dikenal dengan nama Judge – made – law.

Sementara dalam system hukum Eropa Continental, hukum telah dikodifikasikan dengan rapi. Oleh karena itu, hakim dalam memeriksa perkara hanya berdasar peraturan hukum yang ada dalam UU saja. Namun apabila ternyata UU belum mengatur suatu hal, maka hakim dapat memberikan keputusan sendiri (Ius Curia Novit), tanpa terikat dengan precedent
Di Indonesia sendiri, fungsi yudikatif menurut UUD 1945 dilakukan oleh MA dan badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah MK.



D A F T A R P U S T A K A

Budiardjo, Miriam, 2007. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Hadjon, Philipus, 1992. Lembaga Tertinggi dan Lembaga – Lmebaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan. Surabaya : PT. Bina Ilmu.

Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Setelah Amandemen Keempat Tahun 2002)