Welcome

Terima Kasih Kunjungannya...

Jumat, 17 September 2010

DPD DALAM KONSTELASI LEMBAGA NEGARA


1. Struktur Kelembagaan DPD

Dewan Perwakilan Daerah atau DPD merupakan salah satu dari lembaga Negara yang ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dewan Perwakilan Daerah dapat dikatakan sebagai lembaga Negara yang baru.
Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi. Sesuai dengan konsep The Rule of Law, maka salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah adanya pemilihan uumum yang bebas dan tidak memihaj, Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden. Dan Wakil Presiden serta anggota DPRD”. Keempat macam Pemilu yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 ini menegaskan bahwa di setiap penyelenggaraan pemilu atau general election, terdapat empat subyek yang akan dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah dan salah satunya adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagai representasi dari daerah. Peserta Pemilu untuk anggota DPD adalah perseorangan atau independen. Tata cara pencalonan antara pemilu DPR dan DPD berbeda. Untuk Pemilu DPD menggunakan sistem distrik murni dan setiap distrik mempunyai wakil yang sama tanpa mempertimbangkan penyebaran penduduk.

Struktur kelembagaan DPD sendiri tercantum dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD. Sebagai payung hukum bagi lembaga Negara, UU tersebut memberikan legitimasi pada DPD tanpa terkecuali.

Susunan Keanggotan DPD
1. Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas wakil – wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
2. Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang
3. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR
4. Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden
5. Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di ibukota Negara Republik Indonesia
6. Masa jabatan Anggota DPD adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
7. Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama – sama yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung dalam Sidang Paripurna DPD.

Pimpinan DPD.
Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga negara yang terstruktur, memiliki badan structural dibawah seorang pimpinan DPD. Berikut ketentuan undang – undangnya.
1. (1). Pimpinan DPD terdiri atas seorang Ketua dan sebanyak – banyaknya dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam Sidang Paripurna DPD
(2). Selama Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh Pimpinan sementara DPD
2. Tugas Pimpinan DPD adalah antara lain :
a. Memimpin sidang – sidang dan menyampaikan hasil sidang untuk diambil keputusan.
b. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua.
c. Menjadi juru bicara DPD
3. Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 (1) berhenti atau diberhentikan dari jabatannya karena :
a. Meninggal dunia,
b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis
c. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPD

Kedudukan dari lembaga DPD adalah sebagai berikut :
1. DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara
2. DPD mempunyai fungsi : pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu.

Pada Pemilu 2009, peserta Pemilu DPD mencapai 1116 yang tersebar di 33 provinsi. Jumlah peserta ini lebih banyak 153 orang daripada pemilu 2004.
Peserta pemilu DPD dapat berasal dari calon independen ataupun individu yang berasal atau aktif dari partai politik. Selain itu untuk menjadi calon anggota DPD tidak menyertakan domisili calon. Jadi, Individu yang berasal dari provinsi tertentu, dapat mencalonkan diri di provinsi di luar tempat domisilinya.
Persyaratan yang ditetapkan untuk dapat menjadi calon anggota DPD adalah melalui pembuktian dukungan rakyat yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk di setiap provinsi. Adapun persyaratan itu adalah sebagai berikut :

• Provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 1000 (seribu) orang pemilih.
• Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 2000 (dua ribu) orang pemilih.
• Provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 3000 (tiga ribu) orang pemilih.
• Provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 4000 (empat ribu) orang pemilih.
• Provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 5000 (empat ribu) orang pemilih.
Berbeda dengan Pemilu 2004, pada pemilu 2009 dukungan pemilih tersebut harus tersebar di 50% kabupaten/kota dari tempat seorang mencalonkan diri, pada pemilu 2004 hanya 25% kabupaten/kota. Bentuk dukungan rakyat terhadap calon anggota DPD diwujudkan dengan fotocopy kartu tanda penduduk (KTP). Sementara bagi anggota DPD yang sebelumnya sedang menjabat (incumbent) dapat langsung menjadi calon anggota DPD tanpa harus mendapat persyaratan dukungan minimal. Incumbent cukup memenuhi persyaratan administrasi/kualifikasi.


2.Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD dalam peranannya sebagai badan legislatif


Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat perbedaan yang fundamental antara pemilu untuk DPR dengan DPD. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan pengertian perwakilan politik (Political Representation) untuk DPR dan sistem perwakilan fungsional (Functional Representation) untuk DPD. Dengan kata lain anggota DPD menjalankan fungsi mewakili kepentingan daerah (local representation) dalam pembentukan undang – undang, melakukan pengawasan, member pertimbangan meskipun konstitusi sangat membatasi perannya.
Dewan Perwakilan Daerah, seperti Dewan Perwakilan Daerah juga memiliki fungsi, tugas dan wewenang dalam legislatif. Umumnya terdapat 3 fungsi legislatif yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan.

1. Fungsi Legislasi, adalah tugas utama dari badan legislative yaitu untuk membuat peraturan perundangan untuk menentukan arah kebijakannya.
Menurut Prof. Philipus M Hadjon, DPR Indonesia melakukan fungsi “medewetgeving” yang berarti ikut serta membuat undang – undang. Hal ini dikarenakan UU Indonesia adalah produk bersama dengan Presiden.
2. Fungsi Anggaran (Budgeting/Begrooting), legislatif mempunyai kewenangan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara
3. Fungsi Pengawasan (Monitoring), legislatif mempunyai fungsi untuk mengawasi dan mengontrol aktifitas badan eksekutif. Hal ini ditujukan agar eksekutif melakukan sesuai dengan kebijakan apa yang telah ditetapkan oleh legislatif. Pengawasan dilakukan melalui sidang – sidang panitia legislatif dan melalui hak – hak control khusus yang dimiliki oleh legislatif, seperti hak bertanya, interplasi, hak angket, mosi dan sebagainya.3)
Tiga bentuk pengawasan yang dilakukan oleh legislatif terhadap eksekutif, adalah control of executive, control of expenditure, dan control of taxation.4)

. Fungsi utama sebuah badan legislatif adalah membuat undang – undang atau legislasi. DPD sebagai salah satu lembaga negara legislatif tentu juga mempunyai peranan dalam pembuatan undang, yaitu sebagai berikut :
1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang – undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. DPD mengusulkan rancangan undang – undang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 kepada DPR, dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.
3. Pembahasan rancangan undang – undang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang – undang dimaksud pada ayat 1 dengan pemerintah.

Sedangkan Fungsi Anggaran atau Budgeting dari DPD besarnya peranan adalah yaitu DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang – undang APBN dan rancangan undang – undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama

Fungsi Monitoring dari DPD adalah sebagai berikut :
1. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan PABN, pajak, pendidikan, dan agama.
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud di atas merupakan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang.
3. Yang dimaksud DPD dapat melakukan pengawasan sebagaimana ketentuan ini adalah :
• DPD menerima dan membahas hasil – hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai bahan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang tertentu.
• DPD dapat meminta secara tertulis kepada pemerintah tentang pelaksanaan undang – undang tertentu.


3. Analisis Tentang Eksistensi DPD


Seperti telah dijelaskan sebelumnya, DPR dan DPD adalah badan legislatif yang memiliki wewenang membentuk undang – undang. Walaupun cabang kekuasaan legislatif berada di tangan DPR, tetapi pembentukan undang – undang yang materinya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pemerintah pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah menempatkan keterlibatan DPD dalam prosesnya. Selanjutnya DPD ikut membahas pula RUU dimaksud, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, pajak, pendidikan, agama serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu dan menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR. Keterlibatan DPD dimaksud, khususnya dalam mengajukan RUU tertentu kepada DPR dan ikut membahas, tidak mengurangi hak DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif utama. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa keberadaan DPD hanyalah bersifat pelengkap atau sekedar embel – embel yang tidak terlalu penting keberadaannya.
Memang penempatan peran DPD dalam pembentukan UU tertentu merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem dua kamar atau bikameral dalam sistem perwakilan Indonesia yaitu DPR (Representative class) dan DPD (Senate). Tetapi ada kesan bahwa formulasi dari ketentuan yang mengatur DPD tidak tepat. Terkait dengan itu, ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Bagir Manan yaitu :

1. Bahwa DPD pada dasarnya tidak memegang kekuasaan membentuk undang – undang.
2. Bahwa DPD hanya berwenang merancang undang – undang tertentu yang berkaitan dengan pemerintah daerah.
3. Bahwa DPD tidak mandiri dalam membentuk UU, karena adanya frase “ikut membahas Rancangan Undang – Undang”, menunjukkan bahwa DPR lah yang memiliki kekuasaan membentuk undang – undang.

Kedepannya terdapat usulan perubahan yang memberikan hak kepada DPD untuk memveto RUU tertentu. Usulah perubahan tersebut berupaya untuk memberikan hak kepada DPD, untuk bisa menyetujui atau menolak RUU yang berkait dengan kewenangan DPD, dalam konteks membangun check and balances dalam pembentukan undang – undang, amat beralasan dan mungkin untuk dilakukan. Disadari atau tidak bahwa kewenangan yang terdapat dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas sebuah RUU tertentu. Ketentuan ini tidak memberi makna apa – apa, apabila DPR mengabaikan usulan yang disampaikan DPD. Di samping itu, DPD juga beranggapan, bahwa kewenangan untuk memberikan pertimbangan dinilai sangat kurang efektif.

INDONESIA DALAM G - 20


1. Posisi Indonesia dalam G – 20
Dalam G – 20, Menurut Presiden SBY Indonesia berada di tempat yang sangat strategis dalam menentukan arah kebijakan perekonomian global. Hal ini dikarenakan Indonesia saat ini merupakan negara dengan ekonomi nomor 16 terbesar di dunia. Sebagai bagian dari negara dengan perekonomian terbesar di dunia, dan masih pula mencatat pertumbuhan ekonomi di tengah turbulensi finansial global, Indonesia diharapkan akan segera menjadi kekuatan ekonomi yang kuat dan penting di dunia.

2. Peranan Indonesia dalam G – 20
Peran Indonesia dalam G-20 (versi Presiden SBY) adalah mengusahakan tercapainya sebuah tata dunia yang lebih baik dan seimbang. Indonesia memiliki keinginan untuk mewujudkan tata dunia yang lebih baik dan adil, sehingga tidak ada lagi ketimpangan baik di bidang ekonomi, pembangunan, maupun kesejahteraan. Indonesia juga berperan dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang lewat forum G-20.
Dalam KTT G-20, Indonesia memang telah menggagas beberapa hal seperti:

- mengusulkan skema dana siaga global atau global support fund;
- mengusulkan reformasi sistem dan lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia;
- mengingatkan KTT agar tidak mengabaikan isu-isu penting lain seperti perubahan iklim, efektivitas bantuan, dan keamanan energi; serta
- memperjuangkan agar forum G-20 menjadi lebih permanen dan dilembagakan.



Salah satu peranan Indonesia adalah usulan mengenai mekanisme support bagi pendanaan pembangunan di emerging markets yang berfundamental baik namun terkena imbas dari tidak berfungsinya pasar akibat dampak krisis keuangan.
Sri Mulyani, sebagai wakil Indonesia menjelaskan langkah-langkah lain yang disepakati dalam pertemuan itu, yaitu pentingnya mengembalikan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan, upaya-upaya bersama mengatasi kelangkaan likuiditas internasional, reformasi arsitektur keuangan global yang lebih mencerminkan keterwakilan negara-negara berkembang, serta mekanisme pengawasan yang lebih baik bagi sektor keuangan
Dalam pertemuan G 20 di Sao Paulo tersebut, anggota G20 mendukung usulan Indonesia mengenai pembentukan mekanisme dukungan pembangunan bagi negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis keuangan global.

3. Apakah Keputusan G – 20 berdampak langsung bagi Indonesia?
Konsep ekonomi yang dianut oleh G – 20 adalah lebih menekankan pada stimulus fiscal dan makro ekonomi. Oleh karena itu, dikarenakan konsep yang demikian, maka tiap keputusan dari G -20 tidak akan banyak menguntungkan Indonesia atau mungkin malah sebaliknya.
Dalam perekonomian Indonesia, antara makro ekonomi dan mikro ekonomi, mikro ekonomi lah yang paling besar memberikan sumbangan devisa Negara, data menyebutkan berkisar 56 %. Sekarang apabila terdapat keputusan G – 20 yang berkiblat pada makro ekonomi, maka Indonesia akan dirugikan, dan yang diuntungkan hanya lah Negara – Negara maju, dikarenakan makro ekonomi hanya cocok bagi Negara – Negara yang kuat ekonominya, sementara Indonesia masih sering mengalami kesulitan likuiditas, investasi dan modal dalam perekonomian sebagai negara berkembang. Tercatat bahwa sepanjang pemerintahan cabinet 2004 – 2009, makro ekonomi Indonesia Gagal Total. Tidak ada peningkatan ekonomi yang signifikan, hanya utang luar negeri yang bertambah.

Oleh karena itu, setiap keputusan G20 tidak akan bermanfaat banyak bagi Indonesia selama tidak mengurangi utang – utang yang ada dan tidak memberikan kedaulatan ekonomi kepada Indonesia. Yang ada, hanyalah bahwa Indonesia hanya menjadi obyek untuk dikeruk tenaganya.

4. Apakah Keputusan G – 20 mengikat Indonesia?
Keputusan Internasional apapun itu, apapun bentuknya, tidak akan berpengaruh pada Indonesia selama Indonesia tidak meratifikasinya. Oleh karena itu, apabila Indonesia ingin menerapkan Keputusan G – 20 di Indonesia, sesuai asasnya, maka Indonesia harus mengundangkan Keputusan tersebut.

Kamis, 09 September 2010

KAJIAN HUKUM KOMISI YUDISIAL (JUDICIAL COMMISION)


1.Alasan Diadakannya Komisi Yudisial.

Banyak pertimbangan dari lahirnya Komisi Yudisial pada era reformasi. Dari segi filosofisnya, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka. Sejalan dengan landasan tersebut, maka salah satu substansi penting adalah adanya reformasi pada lembaga kehakiman pasca perubahan UUD 1945 yang akhirnya membentuk sebuah lembaga negara di bidang yudikatif yaitu salah satunya adalah termasuk Komisi Yudisial.

Dari segi sosiologis, keberadaan Komisi Yudisial adalah guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum, yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan prinsip check and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Dari segi Yuridis, Komisi Yudisial negara kita secara jelas disebut di tiga peraturan perundang – undangan yaitu UUD 1945, UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Undang – Undang Dasar 1945
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945:
Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.



Pasal 24B UUD 1945:
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, Kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.


UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 40

(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.


Sementara UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial lebih memuat hal bersifat teknis operasionalnya, seperti kedudukan dan susunan Komisi Yudisial, wewenang dan tugas, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Komisi Yudisial.

Dari segi historisnya, bahwasanya Indonesia dahulu memandang perlu adanya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi khusus dalam kekuasaan kehakiman Gagasan untuk mendirikan lembaga negara ini pernah diusulkan pada pembahasan RUU tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar tahun 1968 dengan lembaga bernama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Fungsi dari MPPH ini adalah memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan terakhir mengenai saran – saran dan atau usul – usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Menteri Kehakiman. Namun sayangnya gagasan tersebut belum dapat terwujud saat itu.
Namun akhirnya berkat momentum reformasi tahun 1998, MPR mengeluarkan TAP MPR RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok – Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional. Salah satu isi Tap MPR ini adalah pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dari eksekutif, yang memberlakukan penyatuan atap, pemindahan kewenangan administrasi, personel, keuangan dan organisasi peradilan dari Departemen ke Mahkamah Agung.. Namun yang terjadi adalah timbulnya kekhawatiran akan terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Beranjak dari kekhawatiran inilah, di kalangan pemerhati hukum dan organisasi non – pemerintah mencetuskan ide membentuk lembaga pengawas eksternal bagi hakim agar peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional dapat terwujud. Hasilnya, pada sidang Tahunan MPR Tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, lahirlah pasal 24 B yang menyatakan perlunya dibentuk Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.


2. PENTINGNYA KEBERADAAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA

Menurut Jimly Asshiddiqie, urgensi dibentuknya suatu Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri.
Jimly menambahkan, Komisi Yudisial secara struktural adalah sejajar dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kerhakiman . Namun walaupun komisi Yudisial hanya bersifat pelengkap, namun keberadaan sangan penting guna lebih menjamin efektivitas kerja dalam rangka mengawasi perilaku hakim, yang mana fungsinya berada diluar sebagai ekternal auditor, namun kedudukannya dibuat sederajat antara yang mengawasi dengan yang diawasi.

Dalam buku saku yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial, ada lima alasan mengapa Indonesia sangat membutuhkan lembaga negara Komisi Yudisial, yaitu antara lain :
1. Untuk melakukan monitoring secara intensif terhadap pelaku kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur – unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;
2. menjadi pengubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah (executive power).
3. Dengan adanya komisi yudisial, tingkat efisiensi dan efektifitas kekuasaan (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung.
4. Konsistensi putusan lembaga peradilan tetap terjaga, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial).
5. Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya komisi yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.


3. Perbandingan Komisi Yudisial Dengan Negara Lain.

Di banyak negara maju dewasa ini, telah dikembangkan lemabag seperti komisi yudisial (judicial commision) di lingkungan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya maupun di lingkungan organ pemerintahan umumnya. Hingga saat ini kurang lebih sekitar 43 negara yang mengatur mengenai keberadaan komisi yudisial di dalam konstitusinya dengan berbahai sebutan. Justru keberadaan Komisi Yudisial di Indonesia bisa dikatakan agak terlambat bila dibandingkan dengan negara lain.
Berkaitan dengan pengaturan mengenai komisi yudisial, terdapat perbedaan yang signifikan antara negara satu dengan negara lainnya, namun juga terdapat beberapa negara yang memiliki kesamaan fungsi antara negara yang satu dengan negara yang lain. Tidak hanya fungsi, namun juga dari segi struktural seperti jumlah keanggotaan yang berbeda. Adanya perbedaan ini dikarenakan pembentukan komisi yudisial yang ditentukan oleh konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara dan budaya negara tersebut.

Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap 43 negara yang memiliki komisi yudisial, dapat disimpulkan bahwa:
1. Judicial Service Commision adalah nama yang paling banyak digunakan oleh negara – negara yang mengatur komisi yudisial di dalam konstitusinya, yaitu sebanyak 15 negara (Afrika Selatan, Fiji, Gambia, Guyana, Kenya, Lesotho, Malawi, Marshall Island, Namibia, Nigeria, Samoa, Sri Lanka, Vanuatu, Zambia, dan Zimbabwe)
2. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat merekomendasikan nama Ketua Mahkamah Agung terbaik, bahkan di beberapa negara juga Hakim Agung dan hakim lain di bawahnya tanpa dipengaruhi oleh faktor – faktor yang tidak terikat dengan kecakapan.
3. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat melakukan pendisiplinan terhadap para hakim.
4. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah gagasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara
5. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah administrasi pengadilan, termasuk promosi dan mutasi hakim.

Di Amerika Serikat, Komisi Yudisial-nya sudah ada di 50 negara bagian dan distrik Columbia. Tugas Komisi Yudisial di Amerika Serikat antara lain, adalah meletakkan standar yang tinggi, dan penilaian atas perilaku hakim tanpa kompromi. Komisi ini dengan ketat menjaga kepercayaan publik, dan melakukan disposisi secara adil atas hakim-hakim yang melanggar etika dan dianggap tidak mampu. Tugas seperti ini pulalah yang sebenarnya menjadi tantangan bagi Komisi Yudisial Indonesia, yaitu bisa dengan ketat menjaga kepercayaan publik.

Sementara itu, di Australia, Komisi Yudisial setempat sudah berdiri sejak tahun 1986. Tugas utama komisi ini, antara lain, adalah memperhatikan konsistensi penerapan hukum, pelaksanaan pendidikan berkelanjutan bagi hakim, menilai keluhan atas hakim, memberi saran pada jaksa agung, dan bekerjasama dengan orang dan organisasi yang berhubungan dengan kinerja pengadilan dan hakim.

Di Afrika Selatan dikenal lembaga yang disebut Judicial Sevice Commision yang berfungsi memberikan rekomendasi dalam hal pemberhentian hakim, mengajukan calon Ketua Mahkamah Agung dan memberikan masukan dalam hal pengangkatan Ketua serta Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.

Sementara untuk negara di Uni Eropa, seorang ahli hukum Belanda yang bernama Win Voerman , pada tahun 1999 melakukan penelitian terhadap lembaga semacam komisi yudisal. Yang mana hasilnya ditemukan bahwa terdapat 2 model yang berbeda yang mengatur mengenai keberadaan lembaga semacam komisi yudisial tersebut, yaitu:
1. Di negara Eropa Selatan (Prancis, Italia, Spanyol, atau Portugal), bahwasanya lembaga semacam komisi yudisial mempunyai kewenangan terbatas, yaitu rekruitmen hakim, mutasi, dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim.
2. Di negara Eropa Barat (Swedia, Irlandia, Denmark) cenderung memiliki kewenangan lebih luas yang tidak hanya rekruitmen hakim, mutasi, dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, tetapi juga melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan pengadilan, manajemen perkara sampai dengan manajemen pengadilan (perumahan hakim, pendidikan hakim dan sebagainya)

DAFTAR BACAAN

Anonim, 2007. Keadilan Untuk Semua Orang, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia

Budiardjo, Miriam, 2007. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Huda, Ni’Matul, 2007. Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi. Jogjakarta : UII Press

Kansil, C.S.T, 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Peraturan Perundang – Undangan.
1) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Setelah Amandemen Keempat Tahun 2002

2) Undang – Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)