" A New Era for Politic " " The Future is on Us " " Keep Open Your Mind " " Mari Kawal Hukum Nasional Kita"
Welcome
Terima Kasih Kunjungannya...
Senin, 01 November 2010
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK MENGUJI UU SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
Salah satu pilar negara demokrasi adalah adanya kekuasaan kehakiman (peradilan) yang mandiri untuk menjaga praktik kenegaraan kekuasaan dari kesewenang-wenangan. Dalam konsep Rule of Law menurut International Commision of Jurist, syarat – syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis adalah :
1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain dari menjamin hak – hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak – hak yang dijamin.
2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals)
3) Pemilihan umum yang bebas
4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6) Pendidikan kewarganegaraan (civic education)
Keberadaan kekuasaan kehakiman (peradilan) diharapkan dapat mandiri dari pengaruh kekuasaan yang lainnya dan harus mempunyai wewenang yang jelas dalam menjalankan fungsinya, sehingga kewibawaan kelak terjaga.
Sebuah tonggak sejarah baru dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia ialah dibentuknya Mahkamah Konstitusi oleh MPR ketika melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 (9 November 2001). Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradian yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan miiter, peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahakam Konstitusi”. Ini berarti kekuasaan kehakiman menganut system bifurkasi (bifurcation System) dimana kekuasaan kehakiman terbagi 2 cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung, dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitusional review atas produk perundang – undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita – cita demokrasi yang sedang diusung dan diperjuangkan sebagai cita – cita bangsa Indonesia. Di samping itu, keberadaan Mahkamah Konsitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan antara lain oleh adanya berbagai pendapat dan pandangan serta tafsir ganda terhadap konstitusi.
Dalam Perubahan Ketiga ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dicantumkan dengan tegas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C UUD 1945 menentukan 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan 1 kewajiban konstitusional (constitutional obligation).
Keempat kewenangan itu adalah 1). menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2)memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewena ngannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3). memutus pembubaran partai politik; 4). memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sementara 1 kewajiban MK adalah memutus tudingan DPR bahwa Presiden / Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hokum ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Diantara empat kewenangan dan satu kewajiban tersebut, kewenangan untuk menguji undang – undang terhadap UUD adalah yang menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah badan peradilan tata Negara yang berkarakteristik sendiri.
Dalam kaitan dengan Pengujian perundang – undangan, khususnya berkaitan dengan pengujian yang dilakukan oleh kekuasaan kehakiman baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, terdapat dua terminology istilah yang perlu dibedakan yaitu istilah judicial review dan judicial preview. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang lahir setelah UUD diamandemen (amandemen ketiga), yang kedudukannya sejajar dengan Mahkamah Agung dan lembaga tinggi lainnya. Hal ini sedikit banyak akan berimplikasi mengenai seberapa jauh kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan uji materiil (Judicial Review) terhadap produk UU. Kewenangan tersebut, di kalangan masyarakat menimbulkan pertanyaan bahwsanya Undang – Undang yang mana saja yang bisa diajukan judicial review ke MK. Apakah yang dihasilkan setelah terjadinya amandemen ataukan juga bisa terhadap Undang – Undang yang dibuat sebelum dilakukannya amandemen UUD.
Terdapat pasal yang cukup kontroversi mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal melakukan pengujian undang – undang (Judicial Review), yaitu pasal 50 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal ini menegaskan bahwa :
Pasal 50
“undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang –undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Selanjutnya dalam Bagian Penjelasan Pasal 50 UU No. 24 tahun 2003 dijelaskan bahwa :
“Yang dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” adalah perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999”.
Dari bunyi pasal tersebut telah jelas dapat dilihat bahwasanya, MK hanya berhak menguji UU hasil amandemen. Hal ini merupakan sebagai hukum acara atau procedural yang menetukan bahwa MK tidak boleh menjangkau jauh saat menguji Undang – Undang yang terbit sebelum amandemen pertama UUD 1945 pada 1999.
Selain itu, dasar pemikiran mengapa UU No 24 tahun 2003 menegaskan bahwasanya Mahkamah Konstitusi hanya berhak menguji Undang – Undang setelah perubahan UUD 1945 tidak lain dan bukan adalah ditujukan mengenai pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Selama ini pemeberian kewenangan pengujian undang – undang kepada Mahkamah Konstitusi tanpa adanya pembatasan tertentu berpotensi menimbulkan penyelewengan kekuasaan. Terbukti ada beberapa putusan MK yang dipandang oleh sebagian kalangan adalah ultra petita dan menimbulkan kekacauan baru dalam perspektif yuridis maupun Politis.
Mengenai Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2004 tentang MK untuk membatasi wewenang MK pada umumnya dan melakukan pembatasan pengujian undang-undang pada khususnya, yang mana pasal tersebut oleh MK telah “diuji sendiri” dan telah dinyatakan oleh MK RI bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangan putusan perkara dengan nomor register 066/PUU-II/2004, pendapat mayoritas Hakim Konstitusi terkait dengan pengujian Pasal 50 UU MK menyatakan bahwa:
a) Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ...”, tanpa memuat batasan tentang pengundangan undang-undang yang diuji;
b) Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi, “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang“, tidaklah dimaksudkan untuk membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah dengan jelas dinyatakan dalam ayat (1) Pasal 24C;
c) Meskipun Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 termasuk dalam Bagian Kedelapan Bab V Hukum Acara, namun substansinya bukan semata-mata hukum acara tetapi menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah diatur secara jelas dan limitatif oleh UUD 1945, sehingga undang-undang tidak dapat mengurangi atau menambahkan kewenangan tersebut. Seandainya memang dimaksudkan untuk membatasi kewenangan Mahkamah, maka pembatasan demikian harus dicantumkan di dalam undang-undang dasar sendiri dan bukan di dalam peraturan yang lebih rendah;
d) Adanya Aturan Peralihan Pasal I UUD 1945 yang berbunyi, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini“, tidaklah dapat ditafsirkan membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian secara materiil undang-undang terhadap UUD 1945;
e) Adanya Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi akan menyebabkan ketidakpastian hukum yang pasti menimbulkan ketidakadilan karena dalam sebuah sistem hukum akan terdapat tolok ukur ganda: pertama, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945; dan kedua, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan setelah berlakunya Perubahan Pertama UUD 1945;
f) Kedudukan undang-undang sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 adalah undang-undang yang berfungsi untuk melaksanakan undang-undang dasar dan tidak membuat aturan baru apalagi yang bersifat membatasi pelaksanaan undang-undang dasar. Untuk melaksanakan ayat (6) Pasal 24C UUD 1945 dimaksud, pembuat undang-undang mempunyai kewenangan untuk menentukan hal yang terbaik dan dianggap tepat, namun tidak boleh mengubah hal-hal yang secara tegas telah ditentukan oleh undang-undang dasar. Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 dan bertentangan dengan doktrin hierarki norma hukum yang telah diakui dan diterima secara universal;
g) Haruslah dimengerti bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya ditentukan oleh undang-undang dasar. Mahkamah bukanlah organ undang-undang melainkan organ undang-undang dasar. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstitusionalnya adalah undang-undang dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas, wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subyek dalam hukum nasional, segala peraturan perundang-undangan dimaksud sudah seharusnya dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Prof. Dr. Harun Alrasid, dalam keterangannya sebagai ahli pada persidangan judicial review Mahkamah Konstitusi Pasal 50, menjelaskan bahwa “semua kewenangan yang diberikan oleh pembuat UUD kepada Mahkamah Konstitusi adalah tanpa batas waktu, bahwa undang-undang yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda (yang notabene mengandung unsur diskriminasi) juga dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.”
Dalam persidangan MK RI tersebut Perwakilan Rakyat RI juga menjelaskan bahwa pada waktu pembahasan RUU MK, telah disepakati bahwa untuk melakukan pengujian undang – undang terhadap undang – undang dasar, dimana dalam hal ini undang – undang dasar yang dimaksud adalah UUD 1945. Namun dalam kenyataan, cukup banyak peraturan perundang – undangan baik itu yang berupa ordonantie, undang – undang, Perpu yang keseluruhannya telah dijadikan undang – undang, maupun undang – undang darurat yang masih berlaku sampai sekarang yang dilahirkan tidak berdasarkan UUD 1945 sebagai dasar yuridis, melainkan masih didasarkan baik itu atas Indische Staatsregeling (IS), didasarkan atas UUD 1945 periode pertama pada zaman revolusi dan UUD 1945 periode kedua setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ada juga yang didasarkan atas Konstitusi RIS, maupun undang-undang yang masih berlaku yang didasarkan kepada UUDS 1950, yang kesemuanya sebenarnya secara implisit mengandung pertentangan dengan UUD 1945 hasil Amandemen, namun untuk menghindari kekosongan hukum berdasarkan aturan peralihan UUD 1945, dinyatakan masih berlaku sebelum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar.
Kenyataan inilah yang menyulitkan yang kemudian secara logis membawa konsekuensi perlunya dibatasi hanya terhadap undang – undang yang dilahirkan setelah perubahan UUD 1945. Hal ini tidak secara otomatis menutup kemungkinan review atas undang-undang yang dilahirkan sebelum amandemen UUD 1945 karena berdasarkan aturan peralihan masih dibuka kemungkinan pengujiannya melalui legislative review di DPR untuk mengkaji semua undang-undang itu, mencabutnya, memperbaikinya, mengubahnya dan menggantinya dengan ketentuan-ketentuan yang baru berdasarkan UUD 1945.
Pro Kontra terus berkembang menanggapi hasil putusan MK ini. Sebagian masyarakat menganggap bahwa Pasal 50 UU MK dapat menghambat konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi masyarakat. Hak konstitusi masyarakat dalam artian keinginan rakyat untuk memiliki aturan undang-undang yang berpihak kepada rakyat kecil atau berpihak pada keadilan (membatasi penguasa), karena selama ini banyak sekali produk perundang – undangan yang dibentuk hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek tidak mempunyai visi
dan misi kedepan sehingga masyarakat tidak berdaya. Terlebih rakyat berpandangan peraturan perundangan yang semacam itu banyak terdapat ketika sebelum amandemen UUD 1945.
Judicial review terhadap material hukum undang – undang yang diproduksi sebelum amandemen UUD 1945 melalui berbagai rezim kekuasaan tersebut di atas menunjukkan bahwa UU tidak lagi memiliki kesempurnaan sebagaimana karakter dasarnya yang mendistribusikan nilai – nilai yang terkandung di dalam konstitusi.
Pendapat yang sama ditunjukkan oleh Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin yang menyambut baik langkah Mahkamah Konstitusi dan menyatakan bahwa pasal 50 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, sekarang mahakamah harus lebih tegas guna memenuhi jaminan perlindungan hukum yang lebih mendalam pada masyarakat. Sedangkan Undang Undang tentang Mahmakah Konstitusi, sebenarnya tidak ditujukan untuk membatasi kewenangan mahkamah. Tapi, adanya Pasal 50, kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi terbatas yang berdampak pada terbatasinya hak konstitusi masyarakat.
Namun sebagian pihak lain ada pula yang menanggapi secara a contrario putusan MK ini, bahkan dari hakim anggota MK sendiri. Tidak semua anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang diketuai Prof. Jimmly Assidique memberikan pendapat sama mengenai pencabutan pasal 50 UU No. 24 tahun 2003 tersebut. Terdapat tiga hakim yang memiliki pendapat yang berlainan. Mereka adalah H.M. Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan H.A.S. Natabaya.
Menurut Laica Marzuki, Mahkamah Konstitusi memilki dua macam kewenangan, yaitu konstitusional dan prosedural. Dalam Pasal 50, di antaranya memuat pengaturan salah satu kewenangan prosedural dari mahkamah. Mahkamah tidak boleh menjangkau jauh saat menguji Undang – Undang yang terbit sebelum amandemen pertama UUD 1945 pada 1999. Sedangkan menurut Hakim Achmad Roestandi, Pasal 50 sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 50 merupakan pelaksanaan dari sebagian Pasal 24C Ayat 6 UUD 1945. Pasal 50, ditempatkan di bawah Bab V dengan berjudul Hukum Acara. Artinya, secara tidak langsung berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Sejalan dengan Pendapat hakim anggota di atas, Menurut ahli hukum tata negara Albert Hasibuan, pencabutan pasal 50 ini mengkhawatirkan bakal terjadi kesimpangsiuran dan kebingungan di masyarakat. Kebingungan utamanya dalam hal menyangkut undang-undang mana yang bisa diuji dan yang tidak dapat diuji. Hal ini dikarenakan undang – undang sebelum UUD 1945 diamandemen tidak bisa diuji oleh UUD 1945 yang belum. UUD 1945 sebelum amandemen tidak bisa diinterpretasikan Mahkamah Konstitusi. Ini lantaran tidak ada keterkaitan dengan mahkamah. Mahkamah hanya berhak menguji undang-undang yang diundangkan setelah amandemen. Jika itu dilakukan, seolah-olah Mahkamah Konstutusi dapat berbuat segala-galanya. Dan seharusnya Pasal itu sudah ditentukan sebagai batas tugas mahkamah.
Terlihat adanya dualisme tujuan politik disini, disatu sisi pihak yang menyetujui pencabutan pasal 50 dikarenakan pasal 50 yang bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu adanya pertimbangan hukum putusan perkara nomor 066/PUU-II/2004 mengakhiri masalah pembatasan pengujian undang – undang yang ditentukan dalam Pasal 50 UU MK dalam artian masyarakat dapat mengajukan permohonan pengujian undang – undang yang disahkan sebelum perubahan UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Sementara dari pihak lain untuk mempertahakan pasal tersebut dengan berbagai argument yang argumentative seperti adanya keinginan untuk membatasi kewenangan MK agar tidak menjadikan MK merasa dan menjadi lembaga super body. Ditambah adanya anggapan bahwa Pasal 50 sebagai landasan hukum acara yang harus dipenuhi secara procedural.
DAFTAR BACAAN :
Prof Miriam Budiardjo, 2007, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakart
Ni’matul Huda, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang – Undang, Jurnal Konstitusi
Harjono, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan republic Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia
Achmad Edi Subiyanto, Undang – Undang Yang diuji di MK RI
LEGAL OPINION CALON INDEPENDEN PEMILUKADA
LATAR BELAKANG PENULISAN
Dalam konsep mengenai Negara Hukum Modern yang berfungsi sebagai welfare state, berdasarkan konferensi di Bangkok tahun 1965, salah satu syarat dasar yang penting untuk mewujudkan apa yang dinamakan Rule of Law adalah pemilihan umum yang bebas. Dengan kata lain, penyelanggaraan pemilihan umum yang bebas adalah sebagai salah satu tolak ukur untuk menentukan keberhasilan demokrasi di suatu negara hukum.
Pemilihan umum yang berkualitas pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan hasilnya. Pemilu dapat dikatakan berkualitas dari sisi psosesnya, apabila Pemilu itu berlangsung secara demokratis, aman, tertib, dan lancar, serta jujur dan adil. Sedangkan apabila dilihat dari sisi hasilnya, Pemilu itu harus dapat menghasilkan wakil – wakil rakyat dan pemimpin negara yang mampu mensejahterakan rakyat, di samping pula mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia Internasional. Begitu pentingnya kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan dan agar wakil – wakil rakyat benar – benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui Pemilihan Umum (general election) .
Di negara demokratis, pemilu adalah sumber utama untuk rekruitmen politisi dengan partai politik sebagai sarana utama dalam penominasian kandidat. Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin – pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Oleh karena itu, keberadaan partai politik merupakan instrumen yang paling esensial dalam pelaksanaan pemilu, terlepas dari adanya faktor – faktor lain yang menentukan seperti yang saat ini sedang hangatnya, yaitu adanya kesempatan untuk mengikuti pemilu secara independen atau perseorangan.
Kehadiran calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah penting artinya dalam rangka mendobrak kejumudan demokrasi procedural pemilihan kepala daerah menuju demokrasi lokal yang berkeadilan. Mengingat begitu vitalnya pemilihan seorang kepala daerah, agar kesempatan setiap orang untuk maju dalam pemilihan sesuai dengan hak baik memilih maupun dipilih, maka pemilihan melalui jalur independen juga harus diperhitungkan sebagai jaminan hak konstitusional.
Penyuguhan pandangan atau pendapat hukum (legal opinion) yang dibuat oleh para kritikus hukum yang terdiri dari intelektual akademisi, praktisi hukum, maupun pengamat masalah sosial politik dan hukum umumnya berisikan masukan (input) dalam sudut pandang fungsi penerapan hukum dan manfaatnya dalam masyarakat, dan bagaimana cara kerja hukum itu agar tidak meresahkan masyarakat apabila disosialisasikan sebagai produk perangkat hukum. Berdasarkan hal tersebut, guna dapat memberikan masukan yang kedepannya bermanfaat bagi recht vinding, maka dibuatlah sebuah Legal Opinion yang berjudul “Calon Independen Pemilukada Untuk Mewujudkan Terobosan Demokrasi yang Baik”
1.Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif yuridis normative
Apabila melihat secara yuridis normatif maka haruslah dilihat dari hirearki peraturan perundangan mulai dari yang tertinggi sebagai grundnorm hingga peraturan – peraturan organis yang ada dibawahnya. Dalam hal ini terdapat 2 peraturan yang dijadikan tolak ukur dalam hal pencalonan indpenden dalam pemilukada, yaitu Pasal 18 (4) UUD 1945 melawan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah.
Pasal 18 (4) UUD 1945
”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing – masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Pasal 56 (1) UU No. 32 Tahun 2004
”Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”
Menurut Legal Argument dari penulis, Ketentuan dari pasal 18 (4) UUD 1945 secara implisit sebenarnya memberikan kesempatan yang lebih terbuka kepada calon kepala daerah, dalam artian tidak mengharuskan calon kepala daerah berasal dari kalangan partai politik. UUD 1945 memang tidak mengatur secara jelas perihal pilkada, akan tetapi berdasarkan perumusan pasal 18 UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah yang dikehendaki adalah otonomi daerah termasuk dalam penentuan kepala daerah, entah melalui partai maupun perseorangan.
Hal ini bertentangan bahwasanya ternyata UU No. 32 tahun 2004 memberikan suatu garis demakarsi atau pembatas dimana hanya calon yang melalui partai politik ataupun gabungan partai politik sajalah yang dapat mengikuti pemilukada secara langsung.
Selanjutnya, menurut legal opinion dari penulis, secara normative ketentuan dalam UUD 1945 melalui pasal 18 (4) memberikan jalan bagi jalur independen dan pembatasan jalur pencalonan hanya melalui partai politik menutup hak konstitusional warga negara dalam hal mengenai hak untuk dipilih. Dan sejalan dengan hal tersebut, maka peraturan yang ada dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya sesuai dengan asas Stufenbouw Theory.
2.Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif sosiologis.
Dalam hal menilai urgensi pencalonan independen pemilukada secara sosiologis, maka terdapat tiga hal yang dijadikan legal reasoning sebagai tolak ukurnya yaitu :
1. Praktek Politik Uang dalam Pemilukada
Praktek money politik dalam pemilukada tidak dapat dipungkiri keberadaannya bahkan cenderung meningkat. Politik uang dalam pemilukada telah memasuki setiap elemen, mulai dari keterlibatan calon kepala daerah, DPRD, dan parpol pengusung hingga konstituennya. Menurut legal argumen dari penulis, bahwasanya fungsi rekrutmen parpol menjadikan lahan terbesar praktek money politik yang cenderung ke arah korupsi, dimana pergerakan uang yang dimulai sejak proses pendaftaran seseorang ketika menjadi calon kepala daerah dari parpol tertentu terutama dari pihak incumbent (berdasarkan riset Transparancy International Indonesia).
Menurut Legal Opinion dari Penulis, kehadiran calon perseorangan dalam pemilukada akan dapat meminimalisir praktek politik uang dikarenakan tidak perlunya ”membayar mahal” untuk berkompetisi melalui jalur
2. Degradasi peranan Partai Politik dalam Pemilihan Umum
Urgensi kebutuhan pencalonan secara independen diperlukan mengingat hal yang dinamakan oleh penulis sebagai ”Degradasi Peranan Parpol”. Kondisi parpol yang selalu fluktuatif tergantung dengan arah percaturan politik, menjadikan sering parpol terlihat tidak sehat dan melupakan fungsi intinya, yang akhirnya menjadikan kinerja dari parpol itu sangat diluar harapan, terlepas dari kualitas dari kader – kadernya ataukan mesin parpol itu sendiri.
Bahwasanya kehadiran calon perseorangan dalam pilkada langsung dalam jangka panjang diprediksi akan menyederhanakan jumlah partai secara natural sekaligus membuka mata parpol untuk menjalankan fungsinya dengan sebaik –baiknya.
3. Penurunan partisipasi masyarakat dalam Pemilukada.
Mengutip dari pendapat Kacung Marijan, munculnya fenomena golput dalam pemilukada secara lamgsung pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan perilaku memilih yang terjadi pada pemilu tingkat nasional, yakni munculnya pemilih yang kritis dan apatis.
Menurut Legal argument dari penulis sejalan dengan pendapat di atas, sifat kirit dan apatis yang ditunjukan oleh pemilih adalah didasarkan dengan adanya ketidakpercayaan terhadap partai politik ditambah tidak terakomodirnya kepentingan mereka.
Maka dengan adanya calon independen dalam pemilukada, maka dapat meningkatkan partisipasi pemilih dengan penafsiran bahwa calon individu ini dapat menjadi pilihan alternatif bagi pemilih yang mengalami penurunan kepercayaan politik.
3. Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif HAM dan Demokrasi
Dari perspektf Hak asasi Manusia, pencalonan sebagai kepala daerah secara independen merupakan bentuk dari pengaplikasian perlindungan HAM dalam bidang sipil dan politik
Dalam konvenan sipil dan politik pasal 25 (b), disebutkan bahwa :
Pasal 25 b
“Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih”
Sementara dalam ketentuan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 dinyatakan pula bahwa :
Pasal 28D (3)
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan”
Dengan kata lain, hak untuk memilih dan dipilih tidak menentukan batasan apakah seseorang dapat dipilih dalam pemilihan melalui calon independen maupun partai politik, karena esensinya adalah sama yaitu hak untuk dipilih.
Salah satu cara untuk menilai apakah pemilu atau pemilukada yang demokratis adalah diakomodasinya oleh substansi peraturan perundangan – undangan yang memberikan peluang kepada semua warga negara untuk dipilih dan memilih secara adil. Dengan dapatnya pengajuan secara independen, maka setidak – tidaknya menjadi salah satu bukti terwujudnya demokrasi yang baik.
Menurut Sirajuddin, pencalonan independen dalam pemilukada tidakah bertentangan denan nilai HAM dan demokrasi, namun justru mengakomodir HAM dan demokrasi itu sendiri. Pembatasan pengajuan calon hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik justru memasung HAM dan nilai – nilai demokrasi yang terkandung filsafat bangsa.
KESIMPULAN
Melihat dari berbagai faktor yang ada dapat dilihat bahwasanya pemilukada dengan menggunakan calon independen adalah sah secara yuridis normatif dalam rangka penciptaan demokrasi, penegakkan HAM, dan perwujudan pemilukada yang lebih bersih, berkualitas, dan berlegitimasi. Serta, pembatasan untuk maju secara independen dalam pemilukada adalah inkonstitusional.
Namun perlu diingat, bahwasanya walaupun misalnya dikemudian hari diperkenankan pencalonan secara independen, haruslah pencalonan itu secara tidak tak terbatas. Dalam artian, calon independen tersebut harus memiliki verifikasi dan standarisasi layaknya partai politik agar dapat menjadi calon kepala daerah.
SARAN
Adapun saran dari penulis adalah diharapkan akan adanya pengaturan tentang pemilukada di luar UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini perlu dilakukan agar mengenai pemilukada terdapat suatu pengaturan tersendiri yang lebih komprehensif, terutama untuk terakomodasinya hak – hak warga negara untuk maju secara independen.
DAFTAR BACAAN
Abdullah, Rozali. 2009. Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Amos, Abraham, 2004. Legal Opinion (Aktualisasi Teoritis & Empirisme – Dengan Eksra Suplemen Legal Audit & Legal Reasoning). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Budiardjo, Miriam, 2007. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gajah Mada
Sirajuddin. 2008. Jurnal Transisi (Media Penguatan Demokrasi Lokal). Malang : In – Trans
Tricahyo, Ibnu, 2009. Reformasi Pemilu (Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal). Malang : In – Trans
Jumat, 17 September 2010
DPD DALAM KONSTELASI LEMBAGA NEGARA
1. Struktur Kelembagaan DPD
Dewan Perwakilan Daerah atau DPD merupakan salah satu dari lembaga Negara yang ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dewan Perwakilan Daerah dapat dikatakan sebagai lembaga Negara yang baru.
Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi. Sesuai dengan konsep The Rule of Law, maka salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah adanya pemilihan uumum yang bebas dan tidak memihaj, Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden. Dan Wakil Presiden serta anggota DPRD”. Keempat macam Pemilu yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 ini menegaskan bahwa di setiap penyelenggaraan pemilu atau general election, terdapat empat subyek yang akan dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah dan salah satunya adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagai representasi dari daerah. Peserta Pemilu untuk anggota DPD adalah perseorangan atau independen. Tata cara pencalonan antara pemilu DPR dan DPD berbeda. Untuk Pemilu DPD menggunakan sistem distrik murni dan setiap distrik mempunyai wakil yang sama tanpa mempertimbangkan penyebaran penduduk.
Struktur kelembagaan DPD sendiri tercantum dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD. Sebagai payung hukum bagi lembaga Negara, UU tersebut memberikan legitimasi pada DPD tanpa terkecuali.
• Susunan Keanggotan DPD
1. Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas wakil – wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
2. Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang
3. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR
4. Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden
5. Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di ibukota Negara Republik Indonesia
6. Masa jabatan Anggota DPD adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
7. Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama – sama yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung dalam Sidang Paripurna DPD.
• Pimpinan DPD.
Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga negara yang terstruktur, memiliki badan structural dibawah seorang pimpinan DPD. Berikut ketentuan undang – undangnya.
1. (1). Pimpinan DPD terdiri atas seorang Ketua dan sebanyak – banyaknya dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam Sidang Paripurna DPD
(2). Selama Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh Pimpinan sementara DPD
2. Tugas Pimpinan DPD adalah antara lain :
a. Memimpin sidang – sidang dan menyampaikan hasil sidang untuk diambil keputusan.
b. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua.
c. Menjadi juru bicara DPD
3. Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 (1) berhenti atau diberhentikan dari jabatannya karena :
a. Meninggal dunia,
b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis
c. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPD
• Kedudukan dari lembaga DPD adalah sebagai berikut :
1. DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara
2. DPD mempunyai fungsi : pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu.
Pada Pemilu 2009, peserta Pemilu DPD mencapai 1116 yang tersebar di 33 provinsi. Jumlah peserta ini lebih banyak 153 orang daripada pemilu 2004.
Peserta pemilu DPD dapat berasal dari calon independen ataupun individu yang berasal atau aktif dari partai politik. Selain itu untuk menjadi calon anggota DPD tidak menyertakan domisili calon. Jadi, Individu yang berasal dari provinsi tertentu, dapat mencalonkan diri di provinsi di luar tempat domisilinya.
Persyaratan yang ditetapkan untuk dapat menjadi calon anggota DPD adalah melalui pembuktian dukungan rakyat yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk di setiap provinsi. Adapun persyaratan itu adalah sebagai berikut :
• Provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 1000 (seribu) orang pemilih.
• Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 2000 (dua ribu) orang pemilih.
• Provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 3000 (tiga ribu) orang pemilih.
• Provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 4000 (empat ribu) orang pemilih.
• Provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang – kurangnya oleh 5000 (empat ribu) orang pemilih.
Berbeda dengan Pemilu 2004, pada pemilu 2009 dukungan pemilih tersebut harus tersebar di 50% kabupaten/kota dari tempat seorang mencalonkan diri, pada pemilu 2004 hanya 25% kabupaten/kota. Bentuk dukungan rakyat terhadap calon anggota DPD diwujudkan dengan fotocopy kartu tanda penduduk (KTP). Sementara bagi anggota DPD yang sebelumnya sedang menjabat (incumbent) dapat langsung menjadi calon anggota DPD tanpa harus mendapat persyaratan dukungan minimal. Incumbent cukup memenuhi persyaratan administrasi/kualifikasi.
2.Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD dalam peranannya sebagai badan legislatif
Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat perbedaan yang fundamental antara pemilu untuk DPR dengan DPD. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan pengertian perwakilan politik (Political Representation) untuk DPR dan sistem perwakilan fungsional (Functional Representation) untuk DPD. Dengan kata lain anggota DPD menjalankan fungsi mewakili kepentingan daerah (local representation) dalam pembentukan undang – undang, melakukan pengawasan, member pertimbangan meskipun konstitusi sangat membatasi perannya.
Dewan Perwakilan Daerah, seperti Dewan Perwakilan Daerah juga memiliki fungsi, tugas dan wewenang dalam legislatif. Umumnya terdapat 3 fungsi legislatif yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan.
1. Fungsi Legislasi, adalah tugas utama dari badan legislative yaitu untuk membuat peraturan perundangan untuk menentukan arah kebijakannya.
Menurut Prof. Philipus M Hadjon, DPR Indonesia melakukan fungsi “medewetgeving” yang berarti ikut serta membuat undang – undang. Hal ini dikarenakan UU Indonesia adalah produk bersama dengan Presiden.
2. Fungsi Anggaran (Budgeting/Begrooting), legislatif mempunyai kewenangan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara
3. Fungsi Pengawasan (Monitoring), legislatif mempunyai fungsi untuk mengawasi dan mengontrol aktifitas badan eksekutif. Hal ini ditujukan agar eksekutif melakukan sesuai dengan kebijakan apa yang telah ditetapkan oleh legislatif. Pengawasan dilakukan melalui sidang – sidang panitia legislatif dan melalui hak – hak control khusus yang dimiliki oleh legislatif, seperti hak bertanya, interplasi, hak angket, mosi dan sebagainya.3)
Tiga bentuk pengawasan yang dilakukan oleh legislatif terhadap eksekutif, adalah control of executive, control of expenditure, dan control of taxation.4)
. Fungsi utama sebuah badan legislatif adalah membuat undang – undang atau legislasi. DPD sebagai salah satu lembaga negara legislatif tentu juga mempunyai peranan dalam pembuatan undang, yaitu sebagai berikut :
1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang – undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. DPD mengusulkan rancangan undang – undang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 kepada DPR, dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.
3. Pembahasan rancangan undang – undang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang – undang dimaksud pada ayat 1 dengan pemerintah.
Sedangkan Fungsi Anggaran atau Budgeting dari DPD besarnya peranan adalah yaitu DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang – undang APBN dan rancangan undang – undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
Fungsi Monitoring dari DPD adalah sebagai berikut :
1. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan PABN, pajak, pendidikan, dan agama.
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud di atas merupakan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang.
3. Yang dimaksud DPD dapat melakukan pengawasan sebagaimana ketentuan ini adalah :
• DPD menerima dan membahas hasil – hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai bahan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang – undang tertentu.
• DPD dapat meminta secara tertulis kepada pemerintah tentang pelaksanaan undang – undang tertentu.
3. Analisis Tentang Eksistensi DPD
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, DPR dan DPD adalah badan legislatif yang memiliki wewenang membentuk undang – undang. Walaupun cabang kekuasaan legislatif berada di tangan DPR, tetapi pembentukan undang – undang yang materinya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pemerintah pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah menempatkan keterlibatan DPD dalam prosesnya. Selanjutnya DPD ikut membahas pula RUU dimaksud, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, pajak, pendidikan, agama serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu dan menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR. Keterlibatan DPD dimaksud, khususnya dalam mengajukan RUU tertentu kepada DPR dan ikut membahas, tidak mengurangi hak DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif utama. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa keberadaan DPD hanyalah bersifat pelengkap atau sekedar embel – embel yang tidak terlalu penting keberadaannya.
Memang penempatan peran DPD dalam pembentukan UU tertentu merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem dua kamar atau bikameral dalam sistem perwakilan Indonesia yaitu DPR (Representative class) dan DPD (Senate). Tetapi ada kesan bahwa formulasi dari ketentuan yang mengatur DPD tidak tepat. Terkait dengan itu, ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Bagir Manan yaitu :
1. Bahwa DPD pada dasarnya tidak memegang kekuasaan membentuk undang – undang.
2. Bahwa DPD hanya berwenang merancang undang – undang tertentu yang berkaitan dengan pemerintah daerah.
3. Bahwa DPD tidak mandiri dalam membentuk UU, karena adanya frase “ikut membahas Rancangan Undang – Undang”, menunjukkan bahwa DPR lah yang memiliki kekuasaan membentuk undang – undang.
Kedepannya terdapat usulan perubahan yang memberikan hak kepada DPD untuk memveto RUU tertentu. Usulah perubahan tersebut berupaya untuk memberikan hak kepada DPD, untuk bisa menyetujui atau menolak RUU yang berkait dengan kewenangan DPD, dalam konteks membangun check and balances dalam pembentukan undang – undang, amat beralasan dan mungkin untuk dilakukan. Disadari atau tidak bahwa kewenangan yang terdapat dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas sebuah RUU tertentu. Ketentuan ini tidak memberi makna apa – apa, apabila DPR mengabaikan usulan yang disampaikan DPD. Di samping itu, DPD juga beranggapan, bahwa kewenangan untuk memberikan pertimbangan dinilai sangat kurang efektif.
INDONESIA DALAM G - 20
1. Posisi Indonesia dalam G – 20
Dalam G – 20, Menurut Presiden SBY Indonesia berada di tempat yang sangat strategis dalam menentukan arah kebijakan perekonomian global. Hal ini dikarenakan Indonesia saat ini merupakan negara dengan ekonomi nomor 16 terbesar di dunia. Sebagai bagian dari negara dengan perekonomian terbesar di dunia, dan masih pula mencatat pertumbuhan ekonomi di tengah turbulensi finansial global, Indonesia diharapkan akan segera menjadi kekuatan ekonomi yang kuat dan penting di dunia.
2. Peranan Indonesia dalam G – 20
Peran Indonesia dalam G-20 (versi Presiden SBY) adalah mengusahakan tercapainya sebuah tata dunia yang lebih baik dan seimbang. Indonesia memiliki keinginan untuk mewujudkan tata dunia yang lebih baik dan adil, sehingga tidak ada lagi ketimpangan baik di bidang ekonomi, pembangunan, maupun kesejahteraan. Indonesia juga berperan dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang lewat forum G-20.
Dalam KTT G-20, Indonesia memang telah menggagas beberapa hal seperti:
- mengusulkan skema dana siaga global atau global support fund;
- mengusulkan reformasi sistem dan lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia;
- mengingatkan KTT agar tidak mengabaikan isu-isu penting lain seperti perubahan iklim, efektivitas bantuan, dan keamanan energi; serta
- memperjuangkan agar forum G-20 menjadi lebih permanen dan dilembagakan.
Salah satu peranan Indonesia adalah usulan mengenai mekanisme support bagi pendanaan pembangunan di emerging markets yang berfundamental baik namun terkena imbas dari tidak berfungsinya pasar akibat dampak krisis keuangan.
Sri Mulyani, sebagai wakil Indonesia menjelaskan langkah-langkah lain yang disepakati dalam pertemuan itu, yaitu pentingnya mengembalikan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan, upaya-upaya bersama mengatasi kelangkaan likuiditas internasional, reformasi arsitektur keuangan global yang lebih mencerminkan keterwakilan negara-negara berkembang, serta mekanisme pengawasan yang lebih baik bagi sektor keuangan
Dalam pertemuan G 20 di Sao Paulo tersebut, anggota G20 mendukung usulan Indonesia mengenai pembentukan mekanisme dukungan pembangunan bagi negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis keuangan global.
3. Apakah Keputusan G – 20 berdampak langsung bagi Indonesia?
Konsep ekonomi yang dianut oleh G – 20 adalah lebih menekankan pada stimulus fiscal dan makro ekonomi. Oleh karena itu, dikarenakan konsep yang demikian, maka tiap keputusan dari G -20 tidak akan banyak menguntungkan Indonesia atau mungkin malah sebaliknya.
Dalam perekonomian Indonesia, antara makro ekonomi dan mikro ekonomi, mikro ekonomi lah yang paling besar memberikan sumbangan devisa Negara, data menyebutkan berkisar 56 %. Sekarang apabila terdapat keputusan G – 20 yang berkiblat pada makro ekonomi, maka Indonesia akan dirugikan, dan yang diuntungkan hanya lah Negara – Negara maju, dikarenakan makro ekonomi hanya cocok bagi Negara – Negara yang kuat ekonominya, sementara Indonesia masih sering mengalami kesulitan likuiditas, investasi dan modal dalam perekonomian sebagai negara berkembang. Tercatat bahwa sepanjang pemerintahan cabinet 2004 – 2009, makro ekonomi Indonesia Gagal Total. Tidak ada peningkatan ekonomi yang signifikan, hanya utang luar negeri yang bertambah.
Oleh karena itu, setiap keputusan G20 tidak akan bermanfaat banyak bagi Indonesia selama tidak mengurangi utang – utang yang ada dan tidak memberikan kedaulatan ekonomi kepada Indonesia. Yang ada, hanyalah bahwa Indonesia hanya menjadi obyek untuk dikeruk tenaganya.
4. Apakah Keputusan G – 20 mengikat Indonesia?
Keputusan Internasional apapun itu, apapun bentuknya, tidak akan berpengaruh pada Indonesia selama Indonesia tidak meratifikasinya. Oleh karena itu, apabila Indonesia ingin menerapkan Keputusan G – 20 di Indonesia, sesuai asasnya, maka Indonesia harus mengundangkan Keputusan tersebut.
Kamis, 09 September 2010
KAJIAN HUKUM KOMISI YUDISIAL (JUDICIAL COMMISION)
1.Alasan Diadakannya Komisi Yudisial.
Banyak pertimbangan dari lahirnya Komisi Yudisial pada era reformasi. Dari segi filosofisnya, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka. Sejalan dengan landasan tersebut, maka salah satu substansi penting adalah adanya reformasi pada lembaga kehakiman pasca perubahan UUD 1945 yang akhirnya membentuk sebuah lembaga negara di bidang yudikatif yaitu salah satunya adalah termasuk Komisi Yudisial.
Dari segi sosiologis, keberadaan Komisi Yudisial adalah guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum, yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan prinsip check and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Dari segi Yuridis, Komisi Yudisial negara kita secara jelas disebut di tiga peraturan perundang – undangan yaitu UUD 1945, UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Undang – Undang Dasar 1945
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945:
Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Pasal 24B UUD 1945:
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, Kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 40
(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Sementara UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial lebih memuat hal bersifat teknis operasionalnya, seperti kedudukan dan susunan Komisi Yudisial, wewenang dan tugas, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Komisi Yudisial.
Dari segi historisnya, bahwasanya Indonesia dahulu memandang perlu adanya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi khusus dalam kekuasaan kehakiman Gagasan untuk mendirikan lembaga negara ini pernah diusulkan pada pembahasan RUU tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar tahun 1968 dengan lembaga bernama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Fungsi dari MPPH ini adalah memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan terakhir mengenai saran – saran dan atau usul – usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Menteri Kehakiman. Namun sayangnya gagasan tersebut belum dapat terwujud saat itu.
Namun akhirnya berkat momentum reformasi tahun 1998, MPR mengeluarkan TAP MPR RI No.X/MPR/1998 tentang Pokok – Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional. Salah satu isi Tap MPR ini adalah pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dari eksekutif, yang memberlakukan penyatuan atap, pemindahan kewenangan administrasi, personel, keuangan dan organisasi peradilan dari Departemen ke Mahkamah Agung.. Namun yang terjadi adalah timbulnya kekhawatiran akan terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Beranjak dari kekhawatiran inilah, di kalangan pemerhati hukum dan organisasi non – pemerintah mencetuskan ide membentuk lembaga pengawas eksternal bagi hakim agar peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional dapat terwujud. Hasilnya, pada sidang Tahunan MPR Tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, lahirlah pasal 24 B yang menyatakan perlunya dibentuk Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2. PENTINGNYA KEBERADAAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA
Menurut Jimly Asshiddiqie, urgensi dibentuknya suatu Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri.
Jimly menambahkan, Komisi Yudisial secara struktural adalah sejajar dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kerhakiman . Namun walaupun komisi Yudisial hanya bersifat pelengkap, namun keberadaan sangan penting guna lebih menjamin efektivitas kerja dalam rangka mengawasi perilaku hakim, yang mana fungsinya berada diluar sebagai ekternal auditor, namun kedudukannya dibuat sederajat antara yang mengawasi dengan yang diawasi.
Dalam buku saku yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial, ada lima alasan mengapa Indonesia sangat membutuhkan lembaga negara Komisi Yudisial, yaitu antara lain :
1. Untuk melakukan monitoring secara intensif terhadap pelaku kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur – unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;
2. menjadi pengubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah (executive power).
3. Dengan adanya komisi yudisial, tingkat efisiensi dan efektifitas kekuasaan (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung.
4. Konsistensi putusan lembaga peradilan tetap terjaga, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial).
5. Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya komisi yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
3. Perbandingan Komisi Yudisial Dengan Negara Lain.
Di banyak negara maju dewasa ini, telah dikembangkan lemabag seperti komisi yudisial (judicial commision) di lingkungan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya maupun di lingkungan organ pemerintahan umumnya. Hingga saat ini kurang lebih sekitar 43 negara yang mengatur mengenai keberadaan komisi yudisial di dalam konstitusinya dengan berbahai sebutan. Justru keberadaan Komisi Yudisial di Indonesia bisa dikatakan agak terlambat bila dibandingkan dengan negara lain.
Berkaitan dengan pengaturan mengenai komisi yudisial, terdapat perbedaan yang signifikan antara negara satu dengan negara lainnya, namun juga terdapat beberapa negara yang memiliki kesamaan fungsi antara negara yang satu dengan negara yang lain. Tidak hanya fungsi, namun juga dari segi struktural seperti jumlah keanggotaan yang berbeda. Adanya perbedaan ini dikarenakan pembentukan komisi yudisial yang ditentukan oleh konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara dan budaya negara tersebut.
Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap 43 negara yang memiliki komisi yudisial, dapat disimpulkan bahwa:
1. Judicial Service Commision adalah nama yang paling banyak digunakan oleh negara – negara yang mengatur komisi yudisial di dalam konstitusinya, yaitu sebanyak 15 negara (Afrika Selatan, Fiji, Gambia, Guyana, Kenya, Lesotho, Malawi, Marshall Island, Namibia, Nigeria, Samoa, Sri Lanka, Vanuatu, Zambia, dan Zimbabwe)
2. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat merekomendasikan nama Ketua Mahkamah Agung terbaik, bahkan di beberapa negara juga Hakim Agung dan hakim lain di bawahnya tanpa dipengaruhi oleh faktor – faktor yang tidak terikat dengan kecakapan.
3. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat melakukan pendisiplinan terhadap para hakim.
4. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah gagasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara
5. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah administrasi pengadilan, termasuk promosi dan mutasi hakim.
Di Amerika Serikat, Komisi Yudisial-nya sudah ada di 50 negara bagian dan distrik Columbia. Tugas Komisi Yudisial di Amerika Serikat antara lain, adalah meletakkan standar yang tinggi, dan penilaian atas perilaku hakim tanpa kompromi. Komisi ini dengan ketat menjaga kepercayaan publik, dan melakukan disposisi secara adil atas hakim-hakim yang melanggar etika dan dianggap tidak mampu. Tugas seperti ini pulalah yang sebenarnya menjadi tantangan bagi Komisi Yudisial Indonesia, yaitu bisa dengan ketat menjaga kepercayaan publik.
Sementara itu, di Australia, Komisi Yudisial setempat sudah berdiri sejak tahun 1986. Tugas utama komisi ini, antara lain, adalah memperhatikan konsistensi penerapan hukum, pelaksanaan pendidikan berkelanjutan bagi hakim, menilai keluhan atas hakim, memberi saran pada jaksa agung, dan bekerjasama dengan orang dan organisasi yang berhubungan dengan kinerja pengadilan dan hakim.
Di Afrika Selatan dikenal lembaga yang disebut Judicial Sevice Commision yang berfungsi memberikan rekomendasi dalam hal pemberhentian hakim, mengajukan calon Ketua Mahkamah Agung dan memberikan masukan dalam hal pengangkatan Ketua serta Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
Sementara untuk negara di Uni Eropa, seorang ahli hukum Belanda yang bernama Win Voerman , pada tahun 1999 melakukan penelitian terhadap lembaga semacam komisi yudisal. Yang mana hasilnya ditemukan bahwa terdapat 2 model yang berbeda yang mengatur mengenai keberadaan lembaga semacam komisi yudisial tersebut, yaitu:
1. Di negara Eropa Selatan (Prancis, Italia, Spanyol, atau Portugal), bahwasanya lembaga semacam komisi yudisial mempunyai kewenangan terbatas, yaitu rekruitmen hakim, mutasi, dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim.
2. Di negara Eropa Barat (Swedia, Irlandia, Denmark) cenderung memiliki kewenangan lebih luas yang tidak hanya rekruitmen hakim, mutasi, dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, tetapi juga melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan pengadilan, manajemen perkara sampai dengan manajemen pengadilan (perumahan hakim, pendidikan hakim dan sebagainya)
DAFTAR BACAAN
Anonim, 2007. Keadilan Untuk Semua Orang, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia
Budiardjo, Miriam, 2007. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Huda, Ni’Matul, 2007. Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi. Jogjakarta : UII Press
Kansil, C.S.T, 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Peraturan Perundang – Undangan.
1) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Setelah Amandemen Keempat Tahun 2002
2) Undang – Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)
Sabtu, 17 April 2010
PERBANDINGAN EKSEKUTIF AMERIKA DAN INDONESIA
KEKUASAAN EKSEKUTIF DI INDONESIA
Dalam UUD 1945, terdapat pencantuman secara tegas mengenai fungsi eksekutif. Hal ini tercantum dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara dimana Presiden adalah sebagai pelaksana eksekutif dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 (1) dan (2) disebutkan bahwa
Pasal 4 (1)
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang – Undang Dasar
Pasal 4 (2)
Dalam melakukan kewajiban Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden
Berdasarkan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Presiden bersama Wakil Presiden memegang fungsi eksekutif dalam menjalankan pemerintahan.
Presiden RI dalam memegang kekuasaan pemerintah selama lima tahun. Selama masa itu, Presiden tidak boleh dijatuhkan oleh DPR, sebaliknya Presiden tidak mempunyai wewenang untuk mengimpeach DPR.
Wewenang dari Presiden RI dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut :
1. Diplomatik
Presiden memiliki wewenang untuk menyelanggarakan hubungan diplomatic dengan Negara lain. Dalam Hal ini UUD 1945 menyebutkan dalam Pasal 13 bahwa Presiden dapat mengangkat duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
2. Administratif
Presiden memiliki wewenang untuk melaksanakan undang – undang serta peraturan – peraturan lain dan menyelenggarakan administrative Negara. Dimana dalam Pasal 5 (2), Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang – undang sebagaimana mestinya.
3. Militer :
Presiden memeliki wewenang dalam mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan pertahanan negara. Dalam Pasal 10 Presiden adalah peemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dalam Pasal 11, Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, atau dalam pasal 12 Presiden dapat menyatakan status keadaan bahaya.
4. Yudikatif Politis
Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA (Pasal 14 ayat 1) dan memberikan amensti dan abolisi dengan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 2)/
5. Legislasi Terbatas
Presiden memiliki kewenangan untuk merencanakan undang – undang dan membahasnya bersama Dewan perwakilan rakyat sampai menjadi undang – undang. (Pasal 5 ayat 1)
KEKUASAAN EKSEKUTIF AMERIKA
Badan eksekutif Amerika terdiri atas Presiden dengan kabinetnya dengan Presiden sebagai Chief Executive.
Dalam Konstitusi Amerika, Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa
“Kekuasaan eksekutif akan diberikan kepada seorang Presiden Amerika Serikat. Ia akan memangku Jabatannya dalam Jangka Waktu empat tahun, dan bersama-sama dengan Wakil Presiden, yang dipilih untuk Jangka Waktu yang sama, dipilih”
Presiden selama masa jabatan 4 tahunnya yang dapat diperpanjang menjadi delapan tahun jikalau terpilih kembali tidak dapat dijatuhkan oleh kongres. Begitu pula sebaliknya, Presiden tidak dapat membubarkan kongres. Namun dalam Pasal 2 (4), disebutkan bahwa
“Presiden, Wakil Presiden, dan Pegawai negeri sipil Amerika Serikat, akan diberhentikan dari jabatan apabila terkena dakwaan Pertanggungjawaban (Impeachment), karena, dan dinyatakan Bersalah dalam hal Penghianatan, Suap, atau Kejahatan-Kejahatan besar dan Pelanggaran-Pelanggaran lain”
Wewenang dari Presiden Amerika :
1. Presiden memiliki wewenang untuk memveto (menolak menandatangani) dalam waktu 10 hari rancangan undang – undang yang telah diterima baik oleh kongres. (Namun veto dari presiden tidak akan berguna, apabila kongres menolak veto tersebut dan rancangan undang – undang itu dikirim kembali ke kamar kongres. Apabila RUU itu disetujui oleh 2/3 anggota majelis, maka veto menjadi batal dan Presiden harus tunduk kepada keputusan kongres).
2. Presiden memegang kekuasaan militer tertinggi.
Pasal 2 (2)
“Presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika Serikat, dan Milisi beberapa Negara Bagian”
3. Presiden mempunyai wewenang untuk membuat Perjanjian atas dan dengan nasihat dan persetujuan Senat,
4. Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat Duta Besar, Duta – Duta lain dan Konsul, Hakim Makamah Agung, dan semua pejabat lain Amerika Serikat atas nasihat dan persetujuan Senat.
5. Presiden memiliki kewenangan prerogative untuk mengangkat pejabat tanpa persetujuan Kongres, yaitu pejabat – pejabat yang lebih rendah, atau pejabat yang mereka anggap pantas untuk diangkat oleh seorang Presiden sendiri, missal menteri atau penasehat presiden
6. Presiden mempunyai wewenang untuk mengisi semua Lowongan yang mungkin terjadi selama Reses Senat dengan cara memberikan Penugasan yang akan berakhir pada Akhir masa Sidang berikutnya.
7. Presiden memiliki kewenangan untuk menginformasikan keadaan negara kepada Kongres
8. Presiden dalam keadaan luar biasa dapat mengumpulkan kedua Kamar, atau salah satunya, dan dalam hal Ketidaksepakatan di kedua Kamar mengenai Waktu Penundaan sidang, dan Presiden dapat menundanya sampai waktu yang dianggapnya pantas
KESIMPULAN :
Secara garis besar, Presiden RI dan Presiden Amerika memiliki kewenangan yang tidak jauh berbeda yaitu Presiden memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan.
Kesamaan – kesamaan itu terlihat dari beberapa aspek seperti :
1. Presiden RI dan USA sama – sama sebagai panglima tinggi militer
2. Presiden RI dan Presiden USA memiliki kesamaan dimana dalam hal tertentu harus berkoordinasi dengan Legislatif, misal dalam pengangkatan duta dan konsul.
Namun ada hal – hal yang membedakan adalah sebagai berikut :
1. Dalam hal perumusan UU, terlihat perbedaan wewenang antara Presiden RI dan Amerika. Dalam Hal Presiden RI tidak menyetujui sebuah RUU, maka RUU tersebut tidak boleh untuk diajukan kembali. Sementara Presiden Amerika, walaupun ia mempunyai hak veto atas suatu RUU, namun nyatanya RUU itu masih tetap bisa berlaku sebagai UU dan hak veto Presiden dibatalkan.
2. Presiden RI memiliki kewenangan untuk mengajukan RUU kepada DPR. Sementara di Amerika kekuatan membentuk UU dimiliki penuh oleh Kongres yang terdiri dari Senat dan DPR.
3. Presiden Amerika sebagai eksekutif masih dapat mengintervensi legislative dalam hal keadaan luar biasa. Sementara di Indonesia, tidak ada UU yang memberikan kewenangan untuk mengintervensi DPR dalam hal apapun.
(IMAGE IS TRIBUTE FOR HINDUISM AND LAW)
Jumat, 16 April 2010
PERBEDAAN PEMILU 1955, PEMILU 1971, PEMILU 1977
Pemilu 1955
• Pemilu 1955 diselenggarakan berdasarkan UU No. 7/1953 dan merujuk pada sistem parlementer UUDS 1950
• Pada pelaksanaan pemilu tahun 1955, Angkatan bersenjata dan Polri juga ikut memilih. Dimana mereka digilir untuk memilih di daerah – daerah yang rawan sehingga pemilu pada waktu itu berjalan relative aman.
• Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
• Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat menyimak materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum memilih, tidak sekedar memilih hanya karena kedekatan emosional.
• Pemilu diselenggarakan secara sederhana karenanya tidak menyerap biaya negara terlalu besar.
• Pemilu 1955 memperkenalkan asas jujur dan kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia.
• Pemilu 1955 menggunakan system proporsiona yang mendorong multi partai. Alhasil pemilu ini diikuti oleh lebih 30 – an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Pemilu 1971
• Pada masa Pemerintahan Presiden Suharto, pelaksanaan pemilu berdasarkan ketetapan MPRS No. XLII/1968 yang penjabarannya dituangkan dalam UU No. 16/1969 tentang maksud, tujuan dan tata cara pelaksanaan pemilu; dan UU No. 16/1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
• Di awal, Presiden Soeharto berniat mengadakan pemilu dengan system distrik, yang mana tujuannya adalah dengan melakukan penyederhanaan partai. Tapi, usul itu malah ditolak oleh partai-partai yang ada. Sehingga, undang-undang yang dihasilkan pun hanya modifikasi kecil dari ketentuan tentang distrik. Belakangan, yang disetujui semua pihak adalah sistem proporsional. Akhirnya Sebagai peserta pemilu, MPRS menetapkan bahwa hanya partai politik yang sudah mempunyai perwakilan di DPR dan DPRD sajalah yang boleh ikut pemilu. Dengan demikian tinggal 9 parpol yang menjadi kontestan, yaitu: Partai Katholik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Parmusi, PNI, Parkindo, Perti, IPKI, Murba dan Sekber Golkar.
• Orde Baru memperkenalkan pemilu serentak (pemilu borongan) yakni memilih sekaligus anggota DPR, memilih anggota DPRD Tingkat I (provinsi), dan memilih DPRD Tingkat II (kabupaten dan kota madya) dalam satu masa pemilihan. Yang mungkin karena dilakukan dengan cara sekaligus semacam itu maka pemilu diberi predikat sebagai “Pesta Demokrasi”. Dikarenakan diadakan serentak demikian, tentu diperlukan biaya yang besar pula.
• Perbedaan yang mencolok antara Pemilu 1955 dengan Pemilu 1971. Misalnya, asas jujur dan kebersamaan, seperti Pemilu 1955, ditiadakan. Sebagi gantinya, hanya dikenal asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
• Selain itu, panitia berada pada tangan pemerintah, sedangkan partai-partai hanya dilibatkan sebagai saksi dalam penghitungan suara. Alhasil dalam peraturan baru itu, DPR yang dihasilkan pemilu berjumlah 460 orang. Tapi, seratus orang di antaranya diangkat mewakili angkatan bersenjata (75 orang dari ABRI dan 25 orang dari non-ABRI), sebagai perwujudan "konsensus nasional". Begitu pula halnya di MPR. Dari 920 anggota MPR, sebanyak 207 orang (sepertiga dari keseluruhan) ditunjuk oleh presiden; 253 anggota tambahan mewakili daerah (dipilih oleh DPRD), serta; kelompok-kelompok "utusan golongan" yang ditunjuk presiden. Di mata pengamat politik William R. Lidle, proses pemilihan semacam itu telah mengurangi nilai pemilu sebagai praktek demokrasi.
• Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971, para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Pemerintah mengeluarkan Permen (Peraturan Menteri) No. 12/1969 yang melarang pegawai negeri masuk partai politik, tapi boleh ikut Golkar. Ketentuan monoloyalitas itu berlaku bagi pegawai negeri pada semua tingkat. Jadi sesungguhnya pemerintah merekayasa ketentuan – ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
• Perhitungan kursi berbelit dan bias. Hal ini dibuktikan dengan perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.
Pemilu 1977
• Pelaksanaan pemilu 1977 diatur dengan UU No. 14/1975 tentang perubahan UU No. 16/1969. UU ini mempertegas dan memperjelas organisasi politik yang diperbolehkan mengikuti pemilu. Sementara yang berhubungan dengan asas pemilihan, sistem pemilihan, penetapan jumlah anggota, tidak berbeda dengan pemilu sebelumnya. Demikian pula dengan badan penyelenggara pemilu untuk pemilu 1977 pada dasarnya sama dengan Lembaga Pemilihan Umum pada pamilu 1971.
• Ada 4 hal unik dalam pemilu 1977 yaitu empat larangan kepada partai politik dalam kampanye pemilu: jangan mengintimidasi lawan; jangan merusak martabat pemerintah dan pejabat-pejabatnya; jangan mengganggu persatuan nasional, dan; jangan mengkritik pemerintah.
• Mendagri melarang penggunaan agama dalam kampanye. Akibat larangan-larangan itu, partai yang membawa ideology agama tak bisa leluasa menarik massa.
• Pada pemilu ini digunakan system distrik yang mana digilirnya penyederhanaan partai menjadi 2 dan 1 golongan. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP, dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI, dan satu Golongan Karya atau Golkar.
• Pemilu 1955 diselenggarakan berdasarkan UU No. 7/1953 dan merujuk pada sistem parlementer UUDS 1950
• Pada pelaksanaan pemilu tahun 1955, Angkatan bersenjata dan Polri juga ikut memilih. Dimana mereka digilir untuk memilih di daerah – daerah yang rawan sehingga pemilu pada waktu itu berjalan relative aman.
• Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
• Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat menyimak materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum memilih, tidak sekedar memilih hanya karena kedekatan emosional.
• Pemilu diselenggarakan secara sederhana karenanya tidak menyerap biaya negara terlalu besar.
• Pemilu 1955 memperkenalkan asas jujur dan kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia.
• Pemilu 1955 menggunakan system proporsiona yang mendorong multi partai. Alhasil pemilu ini diikuti oleh lebih 30 – an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Pemilu 1971
• Pada masa Pemerintahan Presiden Suharto, pelaksanaan pemilu berdasarkan ketetapan MPRS No. XLII/1968 yang penjabarannya dituangkan dalam UU No. 16/1969 tentang maksud, tujuan dan tata cara pelaksanaan pemilu; dan UU No. 16/1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
• Di awal, Presiden Soeharto berniat mengadakan pemilu dengan system distrik, yang mana tujuannya adalah dengan melakukan penyederhanaan partai. Tapi, usul itu malah ditolak oleh partai-partai yang ada. Sehingga, undang-undang yang dihasilkan pun hanya modifikasi kecil dari ketentuan tentang distrik. Belakangan, yang disetujui semua pihak adalah sistem proporsional. Akhirnya Sebagai peserta pemilu, MPRS menetapkan bahwa hanya partai politik yang sudah mempunyai perwakilan di DPR dan DPRD sajalah yang boleh ikut pemilu. Dengan demikian tinggal 9 parpol yang menjadi kontestan, yaitu: Partai Katholik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Parmusi, PNI, Parkindo, Perti, IPKI, Murba dan Sekber Golkar.
• Orde Baru memperkenalkan pemilu serentak (pemilu borongan) yakni memilih sekaligus anggota DPR, memilih anggota DPRD Tingkat I (provinsi), dan memilih DPRD Tingkat II (kabupaten dan kota madya) dalam satu masa pemilihan. Yang mungkin karena dilakukan dengan cara sekaligus semacam itu maka pemilu diberi predikat sebagai “Pesta Demokrasi”. Dikarenakan diadakan serentak demikian, tentu diperlukan biaya yang besar pula.
• Perbedaan yang mencolok antara Pemilu 1955 dengan Pemilu 1971. Misalnya, asas jujur dan kebersamaan, seperti Pemilu 1955, ditiadakan. Sebagi gantinya, hanya dikenal asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
• Selain itu, panitia berada pada tangan pemerintah, sedangkan partai-partai hanya dilibatkan sebagai saksi dalam penghitungan suara. Alhasil dalam peraturan baru itu, DPR yang dihasilkan pemilu berjumlah 460 orang. Tapi, seratus orang di antaranya diangkat mewakili angkatan bersenjata (75 orang dari ABRI dan 25 orang dari non-ABRI), sebagai perwujudan "konsensus nasional". Begitu pula halnya di MPR. Dari 920 anggota MPR, sebanyak 207 orang (sepertiga dari keseluruhan) ditunjuk oleh presiden; 253 anggota tambahan mewakili daerah (dipilih oleh DPRD), serta; kelompok-kelompok "utusan golongan" yang ditunjuk presiden. Di mata pengamat politik William R. Lidle, proses pemilihan semacam itu telah mengurangi nilai pemilu sebagai praktek demokrasi.
• Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971, para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Pemerintah mengeluarkan Permen (Peraturan Menteri) No. 12/1969 yang melarang pegawai negeri masuk partai politik, tapi boleh ikut Golkar. Ketentuan monoloyalitas itu berlaku bagi pegawai negeri pada semua tingkat. Jadi sesungguhnya pemerintah merekayasa ketentuan – ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
• Perhitungan kursi berbelit dan bias. Hal ini dibuktikan dengan perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.
Pemilu 1977
• Pelaksanaan pemilu 1977 diatur dengan UU No. 14/1975 tentang perubahan UU No. 16/1969. UU ini mempertegas dan memperjelas organisasi politik yang diperbolehkan mengikuti pemilu. Sementara yang berhubungan dengan asas pemilihan, sistem pemilihan, penetapan jumlah anggota, tidak berbeda dengan pemilu sebelumnya. Demikian pula dengan badan penyelenggara pemilu untuk pemilu 1977 pada dasarnya sama dengan Lembaga Pemilihan Umum pada pamilu 1971.
• Ada 4 hal unik dalam pemilu 1977 yaitu empat larangan kepada partai politik dalam kampanye pemilu: jangan mengintimidasi lawan; jangan merusak martabat pemerintah dan pejabat-pejabatnya; jangan mengganggu persatuan nasional, dan; jangan mengkritik pemerintah.
• Mendagri melarang penggunaan agama dalam kampanye. Akibat larangan-larangan itu, partai yang membawa ideology agama tak bisa leluasa menarik massa.
• Pada pemilu ini digunakan system distrik yang mana digilirnya penyederhanaan partai menjadi 2 dan 1 golongan. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP, dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI, dan satu Golongan Karya atau Golkar.
Langganan:
Postingan (Atom)