Welcome

Terima Kasih Kunjungannya...

Jumat, 16 April 2010

PERBEDAAN PEMILU 1955, PEMILU 1971, PEMILU 1977

Pemilu 1955
• Pemilu 1955 diselenggarakan berdasarkan UU No. 7/1953 dan merujuk pada sistem parlementer UUDS 1950
• Pada pelaksanaan pemilu tahun 1955, Angkatan bersenjata dan Polri juga ikut memilih. Dimana mereka digilir untuk memilih di daerah – daerah yang rawan sehingga pemilu pada waktu itu berjalan relative aman.
• Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
• Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat menyimak materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum memilih, tidak sekedar memilih hanya karena kedekatan emosional.
• Pemilu diselenggarakan secara sederhana karenanya tidak menyerap biaya negara terlalu besar.
• Pemilu 1955 memperkenalkan asas jujur dan kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia.
• Pemilu 1955 menggunakan system proporsiona yang mendorong multi partai. Alhasil pemilu ini diikuti oleh lebih 30 – an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Pemilu 1971
• Pada masa Pemerintahan Presiden Suharto, pelaksanaan pemilu berdasarkan ketetapan MPRS No. XLII/1968 yang penjabarannya dituangkan dalam UU No. 16/1969 tentang maksud, tujuan dan tata cara pelaksanaan pemilu; dan UU No. 16/1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
• Di awal, Presiden Soeharto berniat mengadakan pemilu dengan system distrik, yang mana tujuannya adalah dengan melakukan penyederhanaan partai. Tapi, usul itu malah ditolak oleh partai-partai yang ada. Sehingga, undang-undang yang dihasilkan pun hanya modifikasi kecil dari ketentuan tentang distrik. Belakangan, yang disetujui semua pihak adalah sistem proporsional. Akhirnya Sebagai peserta pemilu, MPRS menetapkan bahwa hanya partai politik yang sudah mempunyai perwakilan di DPR dan DPRD sajalah yang boleh ikut pemilu. Dengan demikian tinggal 9 parpol yang menjadi kontestan, yaitu: Partai Katholik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Parmusi, PNI, Parkindo, Perti, IPKI, Murba dan Sekber Golkar.
• Orde Baru memperkenalkan pemilu serentak (pemilu borongan) yakni memilih sekaligus anggota DPR, memilih anggota DPRD Tingkat I (provinsi), dan memilih DPRD Tingkat II (kabupaten dan kota madya) dalam satu masa pemilihan. Yang mungkin karena dilakukan dengan cara sekaligus semacam itu maka pemilu diberi predikat sebagai “Pesta Demokrasi”. Dikarenakan diadakan serentak demikian, tentu diperlukan biaya yang besar pula.
• Perbedaan yang mencolok antara Pemilu 1955 dengan Pemilu 1971. Misalnya, asas jujur dan kebersamaan, seperti Pemilu 1955, ditiadakan. Sebagi gantinya, hanya dikenal asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
• Selain itu, panitia berada pada tangan pemerintah, sedangkan partai-partai hanya dilibatkan sebagai saksi dalam penghitungan suara. Alhasil dalam peraturan baru itu, DPR yang dihasilkan pemilu berjumlah 460 orang. Tapi, seratus orang di antaranya diangkat mewakili angkatan bersenjata (75 orang dari ABRI dan 25 orang dari non-ABRI), sebagai perwujudan "konsensus nasional". Begitu pula halnya di MPR. Dari 920 anggota MPR, sebanyak 207 orang (sepertiga dari keseluruhan) ditunjuk oleh presiden; 253 anggota tambahan mewakili daerah (dipilih oleh DPRD), serta; kelompok-kelompok "utusan golongan" yang ditunjuk presiden. Di mata pengamat politik William R. Lidle, proses pemilihan semacam itu telah mengurangi nilai pemilu sebagai praktek demokrasi.
• Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971, para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Pemerintah mengeluarkan Permen (Peraturan Menteri) No. 12/1969 yang melarang pegawai negeri masuk partai politik, tapi boleh ikut Golkar. Ketentuan monoloyalitas itu berlaku bagi pegawai negeri pada semua tingkat. Jadi sesungguhnya pemerintah merekayasa ketentuan – ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
• Perhitungan kursi berbelit dan bias. Hal ini dibuktikan dengan perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.



Pemilu 1977
• Pelaksanaan pemilu 1977 diatur dengan UU No. 14/1975 tentang perubahan UU No. 16/1969. UU ini mempertegas dan memperjelas organisasi politik yang diperbolehkan mengikuti pemilu. Sementara yang berhubungan dengan asas pemilihan, sistem pemilihan, penetapan jumlah anggota, tidak berbeda dengan pemilu sebelumnya. Demikian pula dengan badan penyelenggara pemilu untuk pemilu 1977 pada dasarnya sama dengan Lembaga Pemilihan Umum pada pamilu 1971.
• Ada 4 hal unik dalam pemilu 1977 yaitu empat larangan kepada partai politik dalam kampanye pemilu: jangan mengintimidasi lawan; jangan merusak martabat pemerintah dan pejabat-pejabatnya; jangan mengganggu persatuan nasional, dan; jangan mengkritik pemerintah.
• Mendagri melarang penggunaan agama dalam kampanye. Akibat larangan-larangan itu, partai yang membawa ideology agama tak bisa leluasa menarik massa.
• Pada pemilu ini digunakan system distrik yang mana digilirnya penyederhanaan partai menjadi 2 dan 1 golongan. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP, dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI, dan satu Golongan Karya atau Golkar.

6 komentar: