Welcome

Terima Kasih Kunjungannya...

Senin, 01 November 2010

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK MENGUJI UU SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945


Salah satu pilar negara demokrasi adalah adanya kekuasaan kehakiman (peradilan) yang mandiri untuk menjaga praktik kenegaraan kekuasaan dari kesewenang-wenangan. Dalam konsep Rule of Law menurut International Commision of Jurist, syarat – syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis adalah :

1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain dari menjamin hak – hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak – hak yang dijamin.
2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals)
3) Pemilihan umum yang bebas
4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6) Pendidikan kewarganegaraan (civic education)

Keberadaan kekuasaan kehakiman (peradilan) diharapkan dapat mandiri dari pengaruh kekuasaan yang lainnya dan harus mempunyai wewenang yang jelas dalam menjalankan fungsinya, sehingga kewibawaan kelak terjaga.

Sebuah tonggak sejarah baru dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia ialah dibentuknya Mahkamah Konstitusi oleh MPR ketika melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 (9 November 2001). Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradian yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan miiter, peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahakam Konstitusi”. Ini berarti kekuasaan kehakiman menganut system bifurkasi (bifurcation System) dimana kekuasaan kehakiman terbagi 2 cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung, dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitusional review atas produk perundang – undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita – cita demokrasi yang sedang diusung dan diperjuangkan sebagai cita – cita bangsa Indonesia. Di samping itu, keberadaan Mahkamah Konsitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan antara lain oleh adanya berbagai pendapat dan pandangan serta tafsir ganda terhadap konstitusi.
Dalam Perubahan Ketiga ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dicantumkan dengan tegas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C UUD 1945 menentukan 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan 1 kewajiban konstitusional (constitutional obligation).

Keempat kewenangan itu adalah 1). menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2)memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewena ngannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3). memutus pembubaran partai politik; 4). memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sementara 1 kewajiban MK adalah memutus tudingan DPR bahwa Presiden / Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hokum ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Diantara empat kewenangan dan satu kewajiban tersebut, kewenangan untuk menguji undang – undang terhadap UUD adalah yang menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah badan peradilan tata Negara yang berkarakteristik sendiri.

Dalam kaitan dengan Pengujian perundang – undangan, khususnya berkaitan dengan pengujian yang dilakukan oleh kekuasaan kehakiman baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, terdapat dua terminology istilah yang perlu dibedakan yaitu istilah judicial review dan judicial preview. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang lahir setelah UUD diamandemen (amandemen ketiga), yang kedudukannya sejajar dengan Mahkamah Agung dan lembaga tinggi lainnya. Hal ini sedikit banyak akan berimplikasi mengenai seberapa jauh kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan uji materiil (Judicial Review) terhadap produk UU. Kewenangan tersebut, di kalangan masyarakat menimbulkan pertanyaan bahwsanya Undang – Undang yang mana saja yang bisa diajukan judicial review ke MK. Apakah yang dihasilkan setelah terjadinya amandemen ataukan juga bisa terhadap Undang – Undang yang dibuat sebelum dilakukannya amandemen UUD.
Terdapat pasal yang cukup kontroversi mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal melakukan pengujian undang – undang (Judicial Review), yaitu pasal 50 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal ini menegaskan bahwa :

Pasal 50
“undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang –undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Selanjutnya dalam Bagian Penjelasan Pasal 50 UU No. 24 tahun 2003 dijelaskan bahwa :

“Yang dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” adalah perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999”.

Dari bunyi pasal tersebut telah jelas dapat dilihat bahwasanya, MK hanya berhak menguji UU hasil amandemen. Hal ini merupakan sebagai hukum acara atau procedural yang menetukan bahwa MK tidak boleh menjangkau jauh saat menguji Undang – Undang yang terbit sebelum amandemen pertama UUD 1945 pada 1999.

Selain itu, dasar pemikiran mengapa UU No 24 tahun 2003 menegaskan bahwasanya Mahkamah Konstitusi hanya berhak menguji Undang – Undang setelah perubahan UUD 1945 tidak lain dan bukan adalah ditujukan mengenai pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Selama ini pemeberian kewenangan pengujian undang – undang kepada Mahkamah Konstitusi tanpa adanya pembatasan tertentu berpotensi menimbulkan penyelewengan kekuasaan. Terbukti ada beberapa putusan MK yang dipandang oleh sebagian kalangan adalah ultra petita dan menimbulkan kekacauan baru dalam perspektif yuridis maupun Politis.

Mengenai Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2004 tentang MK untuk membatasi wewenang MK pada umumnya dan melakukan pembatasan pengujian undang-undang pada khususnya, yang mana pasal tersebut oleh MK telah “diuji sendiri” dan telah dinyatakan oleh MK RI bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam pertimbangan putusan perkara dengan nomor register 066/PUU-II/2004, pendapat mayoritas Hakim Konstitusi terkait dengan pengujian Pasal 50 UU MK menyatakan bahwa:

a) Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ...”, tanpa memuat batasan tentang pengundangan undang-undang yang diuji;

b) Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi, “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang“, tidaklah dimaksudkan untuk membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah dengan jelas dinyatakan dalam ayat (1) Pasal 24C;

c) Meskipun Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 termasuk dalam Bagian Kedelapan Bab V Hukum Acara, namun substansinya bukan semata-mata hukum acara tetapi menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah diatur secara jelas dan limitatif oleh UUD 1945, sehingga undang-undang tidak dapat mengurangi atau menambahkan kewenangan tersebut. Seandainya memang dimaksudkan untuk membatasi kewenangan Mahkamah, maka pembatasan demikian harus dicantumkan di dalam undang-undang dasar sendiri dan bukan di dalam peraturan yang lebih rendah;

d) Adanya Aturan Peralihan Pasal I UUD 1945 yang berbunyi, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini“, tidaklah dapat ditafsirkan membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian secara materiil undang-undang terhadap UUD 1945;

e) Adanya Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi akan menyebabkan ketidakpastian hukum yang pasti menimbulkan ketidakadilan karena dalam sebuah sistem hukum akan terdapat tolok ukur ganda: pertama, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945; dan kedua, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan setelah berlakunya Perubahan Pertama UUD 1945;

f) Kedudukan undang-undang sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 adalah undang-undang yang berfungsi untuk melaksanakan undang-undang dasar dan tidak membuat aturan baru apalagi yang bersifat membatasi pelaksanaan undang-undang dasar. Untuk melaksanakan ayat (6) Pasal 24C UUD 1945 dimaksud, pembuat undang-undang mempunyai kewenangan untuk menentukan hal yang terbaik dan dianggap tepat, namun tidak boleh mengubah hal-hal yang secara tegas telah ditentukan oleh undang-undang dasar. Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 dan bertentangan dengan doktrin hierarki norma hukum yang telah diakui dan diterima secara universal;

g) Haruslah dimengerti bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya ditentukan oleh undang-undang dasar. Mahkamah bukanlah organ undang-undang melainkan organ undang-undang dasar. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstitusionalnya adalah undang-undang dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas, wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subyek dalam hukum nasional, segala peraturan perundang-undangan dimaksud sudah seharusnya dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut Prof. Dr. Harun Alrasid, dalam keterangannya sebagai ahli pada persidangan judicial review Mahkamah Konstitusi Pasal 50, menjelaskan bahwa “semua kewenangan yang diberikan oleh pembuat UUD kepada Mahkamah Konstitusi adalah tanpa batas waktu, bahwa undang-undang yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda (yang notabene mengandung unsur diskriminasi) juga dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.”
Dalam persidangan MK RI tersebut Perwakilan Rakyat RI juga menjelaskan bahwa pada waktu pembahasan RUU MK, telah disepakati bahwa untuk melakukan pengujian undang – undang terhadap undang – undang dasar, dimana dalam hal ini undang – undang dasar yang dimaksud adalah UUD 1945. Namun dalam kenyataan, cukup banyak peraturan perundang – undangan baik itu yang berupa ordonantie, undang – undang, Perpu yang keseluruhannya telah dijadikan undang – undang, maupun undang – undang darurat yang masih berlaku sampai sekarang yang dilahirkan tidak berdasarkan UUD 1945 sebagai dasar yuridis, melainkan masih didasarkan baik itu atas Indische Staatsregeling (IS), didasarkan atas UUD 1945 periode pertama pada zaman revolusi dan UUD 1945 periode kedua setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ada juga yang didasarkan atas Konstitusi RIS, maupun undang-undang yang masih berlaku yang didasarkan kepada UUDS 1950, yang kesemuanya sebenarnya secara implisit mengandung pertentangan dengan UUD 1945 hasil Amandemen, namun untuk menghindari kekosongan hukum berdasarkan aturan peralihan UUD 1945, dinyatakan masih berlaku sebelum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar.

Kenyataan inilah yang menyulitkan yang kemudian secara logis membawa konsekuensi perlunya dibatasi hanya terhadap undang – undang yang dilahirkan setelah perubahan UUD 1945. Hal ini tidak secara otomatis menutup kemungkinan review atas undang-undang yang dilahirkan sebelum amandemen UUD 1945 karena berdasarkan aturan peralihan masih dibuka kemungkinan pengujiannya melalui legislative review di DPR untuk mengkaji semua undang-undang itu, mencabutnya, memperbaikinya, mengubahnya dan menggantinya dengan ketentuan-ketentuan yang baru berdasarkan UUD 1945.

Pro Kontra terus berkembang menanggapi hasil putusan MK ini. Sebagian masyarakat menganggap bahwa Pasal 50 UU MK dapat menghambat konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi masyarakat. Hak konstitusi masyarakat dalam artian keinginan rakyat untuk memiliki aturan undang-undang yang berpihak kepada rakyat kecil atau berpihak pada keadilan (membatasi penguasa), karena selama ini banyak sekali produk perundang – undangan yang dibentuk hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek tidak mempunyai visi
dan misi kedepan sehingga masyarakat tidak berdaya. Terlebih rakyat berpandangan peraturan perundangan yang semacam itu banyak terdapat ketika sebelum amandemen UUD 1945.
Judicial review terhadap material hukum undang – undang yang diproduksi sebelum amandemen UUD 1945 melalui berbagai rezim kekuasaan tersebut di atas menunjukkan bahwa UU tidak lagi memiliki kesempurnaan sebagaimana karakter dasarnya yang mendistribusikan nilai – nilai yang terkandung di dalam konstitusi.

Pendapat yang sama ditunjukkan oleh Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin yang menyambut baik langkah Mahkamah Konstitusi dan menyatakan bahwa pasal 50 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, sekarang mahakamah harus lebih tegas guna memenuhi jaminan perlindungan hukum yang lebih mendalam pada masyarakat. Sedangkan Undang Undang tentang Mahmakah Konstitusi, sebenarnya tidak ditujukan untuk membatasi kewenangan mahkamah. Tapi, adanya Pasal 50, kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi terbatas yang berdampak pada terbatasinya hak konstitusi masyarakat.

Namun sebagian pihak lain ada pula yang menanggapi secara a contrario putusan MK ini, bahkan dari hakim anggota MK sendiri. Tidak semua anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang diketuai Prof. Jimmly Assidique memberikan pendapat sama mengenai pencabutan pasal 50 UU No. 24 tahun 2003 tersebut. Terdapat tiga hakim yang memiliki pendapat yang berlainan. Mereka adalah H.M. Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan H.A.S. Natabaya.

Menurut Laica Marzuki, Mahkamah Konstitusi memilki dua macam kewenangan, yaitu konstitusional dan prosedural. Dalam Pasal 50, di antaranya memuat pengaturan salah satu kewenangan prosedural dari mahkamah. Mahkamah tidak boleh menjangkau jauh saat menguji Undang – Undang yang terbit sebelum amandemen pertama UUD 1945 pada 1999. Sedangkan menurut Hakim Achmad Roestandi, Pasal 50 sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 50 merupakan pelaksanaan dari sebagian Pasal 24C Ayat 6 UUD 1945. Pasal 50, ditempatkan di bawah Bab V dengan berjudul Hukum Acara. Artinya, secara tidak langsung berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi.

Sejalan dengan Pendapat hakim anggota di atas, Menurut ahli hukum tata negara Albert Hasibuan, pencabutan pasal 50 ini mengkhawatirkan bakal terjadi kesimpangsiuran dan kebingungan di masyarakat. Kebingungan utamanya dalam hal menyangkut undang-undang mana yang bisa diuji dan yang tidak dapat diuji. Hal ini dikarenakan undang – undang sebelum UUD 1945 diamandemen tidak bisa diuji oleh UUD 1945 yang belum. UUD 1945 sebelum amandemen tidak bisa diinterpretasikan Mahkamah Konstitusi. Ini lantaran tidak ada keterkaitan dengan mahkamah. Mahkamah hanya berhak menguji undang-undang yang diundangkan setelah amandemen. Jika itu dilakukan, seolah-olah Mahkamah Konstutusi dapat berbuat segala-galanya. Dan seharusnya Pasal itu sudah ditentukan sebagai batas tugas mahkamah.

Terlihat adanya dualisme tujuan politik disini, disatu sisi pihak yang menyetujui pencabutan pasal 50 dikarenakan pasal 50 yang bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu adanya pertimbangan hukum putusan perkara nomor 066/PUU-II/2004 mengakhiri masalah pembatasan pengujian undang – undang yang ditentukan dalam Pasal 50 UU MK dalam artian masyarakat dapat mengajukan permohonan pengujian undang – undang yang disahkan sebelum perubahan UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Sementara dari pihak lain untuk mempertahakan pasal tersebut dengan berbagai argument yang argumentative seperti adanya keinginan untuk membatasi kewenangan MK agar tidak menjadikan MK merasa dan menjadi lembaga super body. Ditambah adanya anggapan bahwa Pasal 50 sebagai landasan hukum acara yang harus dipenuhi secara procedural.

DAFTAR BACAAN :

Prof Miriam Budiardjo, 2007, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakart

Ni’matul Huda, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang – Undang, Jurnal Konstitusi

Harjono, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan republic Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia

Achmad Edi Subiyanto, Undang – Undang Yang diuji di MK RI

LEGAL OPINION CALON INDEPENDEN PEMILUKADA


LATAR BELAKANG PENULISAN

Dalam konsep mengenai Negara Hukum Modern yang berfungsi sebagai welfare state, berdasarkan konferensi di Bangkok tahun 1965, salah satu syarat dasar yang penting untuk mewujudkan apa yang dinamakan Rule of Law adalah pemilihan umum yang bebas. Dengan kata lain, penyelanggaraan pemilihan umum yang bebas adalah sebagai salah satu tolak ukur untuk menentukan keberhasilan demokrasi di suatu negara hukum.

Pemilihan umum yang berkualitas pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan hasilnya. Pemilu dapat dikatakan berkualitas dari sisi psosesnya, apabila Pemilu itu berlangsung secara demokratis, aman, tertib, dan lancar, serta jujur dan adil. Sedangkan apabila dilihat dari sisi hasilnya, Pemilu itu harus dapat menghasilkan wakil – wakil rakyat dan pemimpin negara yang mampu mensejahterakan rakyat, di samping pula mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia Internasional. Begitu pentingnya kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan dan agar wakil – wakil rakyat benar – benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui Pemilihan Umum (general election) .

Di negara demokratis, pemilu adalah sumber utama untuk rekruitmen politisi dengan partai politik sebagai sarana utama dalam penominasian kandidat. Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin – pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Oleh karena itu, keberadaan partai politik merupakan instrumen yang paling esensial dalam pelaksanaan pemilu, terlepas dari adanya faktor – faktor lain yang menentukan seperti yang saat ini sedang hangatnya, yaitu adanya kesempatan untuk mengikuti pemilu secara independen atau perseorangan.

Kehadiran calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah penting artinya dalam rangka mendobrak kejumudan demokrasi procedural pemilihan kepala daerah menuju demokrasi lokal yang berkeadilan. Mengingat begitu vitalnya pemilihan seorang kepala daerah, agar kesempatan setiap orang untuk maju dalam pemilihan sesuai dengan hak baik memilih maupun dipilih, maka pemilihan melalui jalur independen juga harus diperhitungkan sebagai jaminan hak konstitusional.

Penyuguhan pandangan atau pendapat hukum (legal opinion) yang dibuat oleh para kritikus hukum yang terdiri dari intelektual akademisi, praktisi hukum, maupun pengamat masalah sosial politik dan hukum umumnya berisikan masukan (input) dalam sudut pandang fungsi penerapan hukum dan manfaatnya dalam masyarakat, dan bagaimana cara kerja hukum itu agar tidak meresahkan masyarakat apabila disosialisasikan sebagai produk perangkat hukum. Berdasarkan hal tersebut, guna dapat memberikan masukan yang kedepannya bermanfaat bagi recht vinding, maka dibuatlah sebuah Legal Opinion yang berjudul “Calon Independen Pemilukada Untuk Mewujudkan Terobosan Demokrasi yang Baik”


1.Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif yuridis normative


Apabila melihat secara yuridis normatif maka haruslah dilihat dari hirearki peraturan perundangan mulai dari yang tertinggi sebagai grundnorm hingga peraturan – peraturan organis yang ada dibawahnya. Dalam hal ini terdapat 2 peraturan yang dijadikan tolak ukur dalam hal pencalonan indpenden dalam pemilukada, yaitu Pasal 18 (4) UUD 1945 melawan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah.

Pasal 18 (4) UUD 1945
”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing – masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Pasal 56 (1) UU No. 32 Tahun 2004
”Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”

Menurut Legal Argument dari penulis, Ketentuan dari pasal 18 (4) UUD 1945 secara implisit sebenarnya memberikan kesempatan yang lebih terbuka kepada calon kepala daerah, dalam artian tidak mengharuskan calon kepala daerah berasal dari kalangan partai politik. UUD 1945 memang tidak mengatur secara jelas perihal pilkada, akan tetapi berdasarkan perumusan pasal 18 UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah yang dikehendaki adalah otonomi daerah termasuk dalam penentuan kepala daerah, entah melalui partai maupun perseorangan.

Hal ini bertentangan bahwasanya ternyata UU No. 32 tahun 2004 memberikan suatu garis demakarsi atau pembatas dimana hanya calon yang melalui partai politik ataupun gabungan partai politik sajalah yang dapat mengikuti pemilukada secara langsung.

Selanjutnya, menurut legal opinion dari penulis, secara normative ketentuan dalam UUD 1945 melalui pasal 18 (4) memberikan jalan bagi jalur independen dan pembatasan jalur pencalonan hanya melalui partai politik menutup hak konstitusional warga negara dalam hal mengenai hak untuk dipilih. Dan sejalan dengan hal tersebut, maka peraturan yang ada dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya sesuai dengan asas Stufenbouw Theory.


2.Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif sosiologis.

Dalam hal menilai urgensi pencalonan independen pemilukada secara sosiologis, maka terdapat tiga hal yang dijadikan legal reasoning sebagai tolak ukurnya yaitu :

1. Praktek Politik Uang dalam Pemilukada
Praktek money politik dalam pemilukada tidak dapat dipungkiri keberadaannya bahkan cenderung meningkat. Politik uang dalam pemilukada telah memasuki setiap elemen, mulai dari keterlibatan calon kepala daerah, DPRD, dan parpol pengusung hingga konstituennya. Menurut legal argumen dari penulis, bahwasanya fungsi rekrutmen parpol menjadikan lahan terbesar praktek money politik yang cenderung ke arah korupsi, dimana pergerakan uang yang dimulai sejak proses pendaftaran seseorang ketika menjadi calon kepala daerah dari parpol tertentu terutama dari pihak incumbent (berdasarkan riset Transparancy International Indonesia).
Menurut Legal Opinion dari Penulis, kehadiran calon perseorangan dalam pemilukada akan dapat meminimalisir praktek politik uang dikarenakan tidak perlunya ”membayar mahal” untuk berkompetisi melalui jalur

2. Degradasi peranan Partai Politik dalam Pemilihan Umum
Urgensi kebutuhan pencalonan secara independen diperlukan mengingat hal yang dinamakan oleh penulis sebagai ”Degradasi Peranan Parpol”. Kondisi parpol yang selalu fluktuatif tergantung dengan arah percaturan politik, menjadikan sering parpol terlihat tidak sehat dan melupakan fungsi intinya, yang akhirnya menjadikan kinerja dari parpol itu sangat diluar harapan, terlepas dari kualitas dari kader – kadernya ataukan mesin parpol itu sendiri.
Bahwasanya kehadiran calon perseorangan dalam pilkada langsung dalam jangka panjang diprediksi akan menyederhanakan jumlah partai secara natural sekaligus membuka mata parpol untuk menjalankan fungsinya dengan sebaik –baiknya.

3. Penurunan partisipasi masyarakat dalam Pemilukada.
Mengutip dari pendapat Kacung Marijan, munculnya fenomena golput dalam pemilukada secara lamgsung pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan perilaku memilih yang terjadi pada pemilu tingkat nasional, yakni munculnya pemilih yang kritis dan apatis.
Menurut Legal argument dari penulis sejalan dengan pendapat di atas, sifat kirit dan apatis yang ditunjukan oleh pemilih adalah didasarkan dengan adanya ketidakpercayaan terhadap partai politik ditambah tidak terakomodirnya kepentingan mereka.

Maka dengan adanya calon independen dalam pemilukada, maka dapat meningkatkan partisipasi pemilih dengan penafsiran bahwa calon individu ini dapat menjadi pilihan alternatif bagi pemilih yang mengalami penurunan kepercayaan politik.

3. Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif HAM dan Demokrasi

Dari perspektf Hak asasi Manusia, pencalonan sebagai kepala daerah secara independen merupakan bentuk dari pengaplikasian perlindungan HAM dalam bidang sipil dan politik

Dalam konvenan sipil dan politik pasal 25 (b), disebutkan bahwa :

Pasal 25 b
“Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih”

Sementara dalam ketentuan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 dinyatakan pula bahwa :

Pasal 28D (3)
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan”

Dengan kata lain, hak untuk memilih dan dipilih tidak menentukan batasan apakah seseorang dapat dipilih dalam pemilihan melalui calon independen maupun partai politik, karena esensinya adalah sama yaitu hak untuk dipilih.

Salah satu cara untuk menilai apakah pemilu atau pemilukada yang demokratis adalah diakomodasinya oleh substansi peraturan perundangan – undangan yang memberikan peluang kepada semua warga negara untuk dipilih dan memilih secara adil. Dengan dapatnya pengajuan secara independen, maka setidak – tidaknya menjadi salah satu bukti terwujudnya demokrasi yang baik.

Menurut Sirajuddin, pencalonan independen dalam pemilukada tidakah bertentangan denan nilai HAM dan demokrasi, namun justru mengakomodir HAM dan demokrasi itu sendiri. Pembatasan pengajuan calon hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik justru memasung HAM dan nilai – nilai demokrasi yang terkandung filsafat bangsa.

KESIMPULAN

Melihat dari berbagai faktor yang ada dapat dilihat bahwasanya pemilukada dengan menggunakan calon independen adalah sah secara yuridis normatif dalam rangka penciptaan demokrasi, penegakkan HAM, dan perwujudan pemilukada yang lebih bersih, berkualitas, dan berlegitimasi. Serta, pembatasan untuk maju secara independen dalam pemilukada adalah inkonstitusional.

Namun perlu diingat, bahwasanya walaupun misalnya dikemudian hari diperkenankan pencalonan secara independen, haruslah pencalonan itu secara tidak tak terbatas. Dalam artian, calon independen tersebut harus memiliki verifikasi dan standarisasi layaknya partai politik agar dapat menjadi calon kepala daerah.

SARAN

Adapun saran dari penulis adalah diharapkan akan adanya pengaturan tentang pemilukada di luar UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini perlu dilakukan agar mengenai pemilukada terdapat suatu pengaturan tersendiri yang lebih komprehensif, terutama untuk terakomodasinya hak – hak warga negara untuk maju secara independen.

DAFTAR BACAAN

Abdullah, Rozali. 2009. Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

Amos, Abraham, 2004. Legal Opinion (Aktualisasi Teoritis & Empirisme – Dengan Eksra Suplemen Legal Audit & Legal Reasoning). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Budiardjo, Miriam, 2007. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gajah Mada

Sirajuddin. 2008. Jurnal Transisi (Media Penguatan Demokrasi Lokal). Malang : In – Trans

Tricahyo, Ibnu, 2009. Reformasi Pemilu (Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal). Malang : In – Trans